Di Yogyakarta ada gadis asal Belanda, Anouk Wilke (27) yang wajahnya familiar di kalangan penikmat tari. Anouk, pernah mengenyam pendidikan seni tari di ISI Yogyakarta lewat program Darmawiswa. Sementara di ISI Solo ada gadis asal Serbia, Ivana Vranesevic (28), yang Juni 2012 ini juga tengah menyelesaikan program Darmasiswanya.
Anouk mengenal Indonesia dari neneknya yang pernah tinggal di Indonesia selama pendudukan Belanda, sementara Ivana mengenal Indonesia lewat tarian Bali yang ia pelajari di Kedutaan Besar Indonesia di Serbia.
Pentas di Kampung
Hitungan genapnya, Abouk sudah enam tahun tinggal di Jogya. Karena itu pengalaman naik panggung sudah sering diperolehnya. "Saya sudah beberapa kali diajak pentas oleh para penari profresional di Jogya. Tempatnya tidak mesti. Ada yang di perkantoran bahkan di kampung. Kadang ada saja orang yang mencari penarinya orang asing. Yang sudah kenal saya kadang akan memberikan proyek itu ke saya. Pernah saya diajak menari oleh Mas Bimo, Didik, Miroto, dan Anter. Begitulah bila semakin banyak kenal seniman tari akan banyak proyek buat saya," terang Anouk yang juga menguasai tari Sunda dan Cirebon.
Mengaku memiliki nenek moyang asli Jawa, Anouk kini mengaku lebih kerasan tinggal di Jogya daripada di negeri aslinya, Netherland. Sejak kecil, cerita Anouk, kakek dan neneknya pernah tinggal di Jawa semasa pendudukan Belanda. Bahkan berdarah asli Jawa. Karena itu sering menceritakan tentang Indonesia. "Tapi darah nenek saya sudah campur-campur. Pokoknya ada Jawanya. Cerita nenek tentang Indonesia itu membuat saya ingin sekali datang ke Indonesia. Kalau di sekolah ada tugas menulis, saya pasti menulis tentang Indonesia," terang alumnus Hageshool Utrecht itu.
Tahun 2006 ketika memasuki semester akhir, kata Anouk, ia harus melakukan tugas akhir (TA). Pilihannya bisa ke luar negeri."Dan, saya memilih Indonesia. Awalnya saya belajar pencak silat selama satu tahun. Selama tinggal di Jogya saya sempat melihat tarian klasik. Dari sini saya mulai tertarik. Setelah tugas akhir selesai,saya kembali ke Belanda, lalu kembali ke Indonesia lagi belajar menari Jawa di Dalem Pujokusuman."
Dari sini Anouk mulai jatuh cinta dengan tarian klasik dan moderen yang ada di Indonesia. Karena itu ketika masa tinggalnya di Indonesia habis, ia berusaha keras mendapatkan darmasiswa. Tidak tanggung-tanggung, Anouk mendapat dua tahun berturut-turut. "Sebelumnya saya pernah mendaftar tapi tidak berhasil. Lalu saya mencari lagi, ternyata berhasil. Jadilah saya kembali ke Jogya dan belajar tari di ISI selama dua tahun berturut-turut."
Kesan Anouk dalam belajar menari Jawa, "Susah, badan saya bukan Jawa. Karakter saya, terasa Belanda, sementara Jogya karakternya halus. Belajar menari jawa bukan saja dibutuhkan kesabaran. Tapi asyik saya senang sekali bisa menari Jawa. Makanya tahun lalu setelah darmasiswa habis, saya belajar secara privat di Dalem Pujokusuman."
Kini Anouk sudah bolak-balik Jogya-Belanda. Selagi bekalnya habis, ia pulang ke Belanda, lalu bekerja sebagai tenaga sosial yang mengurusi anak-anak berkebutuhan khusus selama setahun. Bila bekal telah terkumpul ia kembali ke Jogyameneruskan belajar menari Jawa. Hal itu dilakukannya bukan saja karena jatuh hati pada tarian Jawa. Melainkan hati Anouk juga telah tertambat pada pemuda Cirebon yang kuliah di Jogya.
Rencananya, Anouk ingin mengajarkan tarian Jawa Klasik di negerinya. "Tapi mungkin saya campur dengan tari moderen biar orang Belanda tidak bosan. Tapi kalau saya menikah dengan pria Indonesia yang kaya, saya akan tinggal di Indonesia. Sebagai orang asing saya tidak boleh bekerja di Indonesia. Kalau suami tidak bekerja bagaimana? Sementara saya juga punya asuransi di Belanda. Sayang, kan?"
KOMENTAR