Siang itu suasana warung milik Masrifah (52) di Desa Manderejo, Kec. Merak Urak, Tuban (Jatim) dipenuhi pembeli. Tak hanya warga sekitar. Menilik mobil yang parkir, banyak pembeli datang dari luar kota Tuban. Mereka singgah untuk menikmati menu andalan di warung yang bangunannya sederhana itu.
Para pembeli terlihat lahap menyantap berbagai olahan Masrifah. Bahkan di antara mereka menikmati makanan dengan peluh berlelehan. Tampak nikmat sekali.
Warung Masrifah atau biasa dijuluki Warung Cak Wi, berada di tengah perkampungan penduduk dengan fisik bangunan yang sederhana. Namun soal pembeli yang datang, sungguh tidak bisa disepelekan. "Lumayan, sehari penghasilan kotor berkisar Rp 2 jutaan per hari," kata Masrifah sambil tersenyum. Wow, jumlah yang lebih dari lumayan.
Citarasa Desa
Tentu saja Warung Cak Wi menyimpan keistimewaan. Masrifah menyediakan menu berbahan tradisional. Dari ikan wader, belut, lele, ikan gabus yang diolah menjadi beragam jenis masakan serta becek mentok. Dari sekian banyak menu, yang paling jadi andalan adalah belut dan ikan gabus. "Ikan gabus saya masak asem-asem. Pembelinya lumayan banyak dan datang dari berbagai daerah. Untuk belut, saya masak pepes dan krengsengan," kata Masrifah.
Tak kalah unik, Masrifah juga menyediakan dua jenis nasi. Pembeli bisa memilih nasi putih biasa atau nasi jagung. Agar lebih terasa tradisional, nasi jagung tidak diletakkan di piring tapi dibungkus dengan daun jati. "Aromanya jadi khas," tutur Masrifah seraya mengatakan belut sudah menjadi trade mark Tuban. "Sudah sejak dulu belut jadi makanan khas Tuban."
Masrifah mengisahkan, ia sudah membuka warung sejak 12 tahun lalu. Di awal buka, ujarnya, belum seramai sekarang. Dalam sehari, ia hanya menghabiskan beberapa kilogram beras jagung dengan beberapa kilo belut ditambah beberapa ekor mentok. "Usaha saya makin lama makin berkembang."
Seiring usahanya yang kian berkembang, ia melengkapi lagi dengan berbagai jenis ikan. Belut dan becek tetap menjadi menu andalan. "Saya tambah lagi dengan ikan wader, lele, juga lainnya," imbuh ibu satu anak ini.
Menurut Masrifah, ia mengolahnya dengan tetap mempertahankan citarasa desa. Ia sengaja memasak menggunakan kayu bakar agar aromanya tetap khas. Untuk penyajian, Marsifah juga membuatnya menarik. Untuk krengsengan dan pepes belut, ia menempatkannya di cobek kecil, dilengkapi mentimun serta irisan terung ungu dan daun kemangi.
Untuk jenis belut yang dimasak, menurut Masrifah, ia tidak membeli belut ternak, tapi sengaja membeli belut liar. "Belut liar itu dagingnya lebih keras, kesat, dan lebih gurih. Beda dengan belut ternak, biasanya lebih berlendir dan kurang gurih," imbuh Masrifah yang daerahnya di Kec. Merak Urak memang menjadi sentra makanan belut.
Soal harga, makanan yang dijual di warungnya pun tergolong sangat murah. Satu porsi krengsengan belut hanya Rp 3 ribu, sedangkan pepes hanya Rp 2.500 per porsi. Hanya ikan gabus yang lebih mahal, yaitu Rp 8 ribu. Tak heran, kekhasan rasa masakan Masrifah ditunjang dengan harga yang sangat bersahabat, menjadikan jumlah pembeli makin meningkat.
Ary Mahmudi, salah seorang pelanggan setia dari Gresik, mengaku ketagihan menu di warung Masrifah. "Setiap perjalanan dari Gresik ke Tuban, saya selalau mampir ke warung ini. Tidak masalah jalannya agak jauh. Masakan Bu Masrifah benar-benar ngangeni," kata Ary.
Selain belut, kuliner khas Tuban lainnya adalah rajungan. Kepiting laut tersebut selalu menjadi incaran penyuka kuliner. Fisiknya memang menyerupai kepiting. Hanya saja warnanya lebih cerah serta bentuk kaki maupun tubuhnya cenderung lebih panjang. Salah satu yang jadi incaran pembeli adalah Warung Rajungan Manunggal di Jl. Manunggal, Tuban.
Warung milik Suwarti (57) ini setiap hari dibanjiri pembeli dari berbagai daerah. Apalagi, lokasi warungnya sangat strategis. Tepatnya di tepi jalan raya yang menghubungkan antara Surabaya dan Jakarta. "Banyak pembeli mengatakan, komposisi bumbu rajungan saya pas di lidah. Selain itu, pelanggan juga suka karena bumbunya pedas sekali," lanjut ibu tujuh anak ini sambil tersenyum.
Janda yang suaminya sudah meninggal ini, membuka warung rajungan sejak 2009. Pada awal berdiri, dalam sehari Suwarti hanya bisa menghabiskan sekitar 5 sampai 10 ekor rajungan. Usahanya lalu dengan cepat berkembang. Kini, dalam sehari bisa menghabiskan sekitar 100 rajungan.
Dengan rendah hati Suwarti bertutur, usahanya berkembang "hanya" berkat ketekunannya. "Saya, kan, enggak punya pekerjaan lain. Ini satu-satunya pekerjaan yang bisa saya lakukan untuk membesarkan anak-anak. Makanya saya mesti tekun," papar Suwarti yang menyajikan menu pelengkap sate kambing serta cumi.
Selama ini, Suwarti tak pernah kesulitan mendapatkan bahan baku. Ia mendapat pasokan ratusan ekor rajungan per hari dari para pengepul rajungan Pantai Paciran, Lamongan dan Kradenan. "Untuk menjaga kualitas, rajungan yang dikirim ke mari masih dalam keadaan hidup dan segar," imbuhnya.
Suwarti mengaku dalam sehari bisa meraup pendapatan kotor Rp 5 juta. "Alhamdulillah, berapa pun saya nikmati saja," ujar Suwarti. Soal harga, Suwarti mematok Rp 55 ribu untuk satu porsi berisi seekor rajungan besar dan seekor rajungan kecil.
Omong-omong apa, sih, bedanya rasa kepiting dan rajungan? "Sebagian pembeli berkomentar, rajungan lebih gurih ketimbang kepiting," katanya.
Gandhi Wasono M.
KOMENTAR