Minggu (6/5) pagi di akhir pekan lalu, Dwi Setyowati alias Yayuk (54) bersama anak perempuannya Indah Yuni Rahmawati (29) dan dua cucunya Nadia Zakeza Candrawinata (5) dan Ardian Rahma Dinata (10) sudah bersiap sejak pagi. Mereka berkumpul di ujung gang di Perumahan Candi Lontar Blok 41, Surabaya sekitar pukul 05.00. Pagi itu, mereka akan berangkat rekreasi dan menurut panitia, rombongan wisatawan akan berangkat pukul 05.30.
Yayuk bergembira ikut rekreasi bersama keluarganya. Pasalnya, dua tahun sebelumnya Yayuk tidak ikut kegiatan ini. Seperti diketahui, rekreasi yang diadakan oleh PKK RT 03/RW 07 Perumahan Cando Lontar Blok 41 itu merupakan kegiatan rutin yang diadakan dua tahun sekali. Kegiatan ini didanai dari Sisa Hasil Usaha (SHU) Koperasi PKK.
Bersama sekitar 60-an peserta rekreasi, Yayuk pun berkumpul di lokasi pemberangkatan. Saat itu, bus Mutiara Indah Murni yang ditumpangi peserta rekreasi sudah tiba di lokasi. Para peserta pun kemudian memasuki bus, mencari tempat duduk, sesuai nomor undian yang sudah dilakukan sebelumnya. "Saya duduk di deretan bangku ketiga," tutur Yayuk.
Yayuk bersama Yuni dan Nadia mendapatkan bangku sebelah kanan tengah. Yayuk duduk di pinggir samping kaca, dan Yuni paling pinggir dekat selasar bus. Satu cucunya lagi, Ardian, duduk di depannya bersama tetangganya. Formasi bus terdiri dari dua kursi di samping kiri dan tiga di sebelah kanan.
Setelah semua peserta lengkap, bus pun memulai perjalanannya menuju tujuan wisata yang pertama yaitu Wisata Bakti Alam di Desa Ngembal, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan. Sayangnya, perjalanan ternyata tidak lancar. Setidaknya dalam hitungan Yayuk, selama perjalanan menuju Wisata Bakti Alam, bus sempat berhenti tiga kali karena gangguan mesin.
"Katanya radiatornya meledak. Saya tidak begitu paham. Saya sebenarnya berpikir, kenapa sih bus seperti ini yang dipakai," ujar Yayuk.Menjelang memasuki Wisata Bakti Alam juga ada masalah. Bus ternyata tidak kuat menanjak. Bahkan, sopir meminta semua penumpang turun. Apa boleh buat, semua penumpang turun meskipun dengan menggerutu.
Sesampainya di lokasi wisata, kekecewaan penumpang pun menjadi bertambah. Ternyata wisata memetik buah seperti yang sudah direncanakan tidak bisa dilaksanakan. "Informasi awal, kami bisa petik buah melon, durian, dan sebagainya. Sampai di sana, pengelolanya bilang buah-buahannya sudah dipanen. Jadi kami hanya melihat pohonnya saja," ujar Yayuk sedikit kesal.
Sekitar pukul 12.30, peserta wisata pun melanjutkan perjalanan menuju tujuan wisata kedua yaitu ke Taman Rekreasi Sengkaling di Kabupaten Malang. Namun baru berjalan sekitar 300 meter dari Wisata Bakti Alam, petaka itu dimulai. Bus melewati jalanan menurun. Sopir tampak tak bisa mengendalikan laju bus. Makin lama meluncur makin cepat, bahkan tak terkendali.
Para penumpang pun panik. Mereka berteriak-teriak kepada sopir untuk mengerem laju busnya.
"Saat itu suasananya sudah mencekam. Sebagian ada yang teriak takbir. Namun laju bus tetap kencang. Kami yang di dalam bus seperti dikocok akibat goncangan bus," kata Yayuk yang tak kalah panik. Ia hanya mampu mendekap cucunya sambil terus menyebut asma Allah.
Akhirnya, bus menghantam sesuatu kemudian terguling ke kiri. Kejadian berlangsung begitu cepat. Yayuk bersyukur masih sadar diri. Dengan tertatih-tatih, ia berhasil keluar bus lewat kaca depan yang sudah hancur berantakan. "Sungguh saya bersyukur karena anak dan tiga cucu saya juga selamat," katanya.
Yayuk bersyukur lolos dari maut. Namun nasib berbeda dialami keluarga Imam Zuhdi (63). Ia bersama istri, Suwarni (53) dan seorang anaknya, Arizalu Rahimza Lazuardi (28) tewas dalam musibah itu. Kehilangan tiga anggota keluarga sekaligus tentu membuat duka cita mendalam. Ini yang dirasakan Fatkhurrahman, anak tertua Imam Zuhdi.
Fatkhur sadar, rezeki, ajal, dan jodoh memang rahasia Tuhan. Namun ia tak menyangka, musibah ini bakal menimpa keluarganya. Seolah firasat buruk dari cerita tetangganya sebelum kejadian, ayahnya yang biasanya bersemangat tampak begitu murung. Supriyadi, sang tetangga, sempat bertanya kepada Zuhdi. "Namun bapak tidak merespons," imbuh Fatkhur yang sudah empat tahun ini hidup mandiri bersama keluarganya.
Dikatakan Fatkhur, ia terakhir kali mengunjungi orangtuanya sebulan lalu. Dalam pertemuan terakhir itu, tak banyak percakapan yang dilakukan Fatkhur dan kedua orangtuanya. Namun saat berpamitan akan pulang, ayahnya sempat berpesan, "Doni (panggilan kecil Fatkhurrahman) tolong jaga adik-adikmu, ya, kalau Bapak dan Ibu pergi," ujar Fatkhur menirukan ucapan ayahnya.
Saat itu Fatkhur menduga, permintaan ayahnya itu berkaitan dengan rencana kepergian keluarga ini ke Jakarta bulan depan. Kebetulan Juni mendatang, salah seorang kerabat Zuhdi di Jakarta mengadakan hajatan. Zuhdi, istri, dan anggota keluarga lain akan menghadiri hajatan tersebut. "Keluarga sudah beli 10 tiket kereta. Rencananya Bapak akan berangkat tanggal 8 Juni. Makanya saat bapak berpesan seperti itu, saya berpikir harus menjaga adik-adik saat Bapak berangkat ke Jakarta. Ternyata bukan itu yang dimaksud Bapak," ujar Fatkhur dengan nada sedih.
Fatkhur mengungkapkan, semasa hidupnya Zuhdi dikenal sebagai aktivis di kampungnya.
Selepas pensiun sebagai karyawan PLN, bukannya berpangku tangan, Zudhi malah semakin aktif di semua kegiatan kampung. Dari aktivitas kegiatan lansia seperti senam lansia, pertemuan lansia, hingga mengurusi Masjid Al Muhajirin. "Bahkan Bapak beberapa kali menjadi ketua takmir. Belakangan, Bapak mundur untuk memberikan kesempatan kepada yang muda-muda," ujar Fatkhur.
Selain aktif di kegiatan kampung, Zuhdi juga aktif di kegiatan Muhammadiyah. Bahkan Zuhdi merintis untuk menghidupkan kembali cabang Muhammadiyah yang ada di Nganjuk, Jawa Timur. Di usianya yang sudah senja ini, untuk urusan bepergian jauh dengan menggunakan sepeda motor bukan halangan bagi Zuhdi. "Bahkan Bapak pernah pergi ke Yogyakarta menggunakan motor."
Meninggalnya sang ibu juga merupakan kehilangan besar bagi Fatkhur. Bagi Fatkhur, ibunya sosok pekerja keras. "Setelah Bapak pensiun, Ibu berjualan bahan-bahan kue di pasar sekitar Perumahan Candi Lontar. Lumayan, untuk tambahan penghasilan keluarga."
Soal musibah ini, Fatkhur mengungkapkan posisi tempat duduk orangtuanya. "Menurut cerita para tetangga, Bapak, Ibu, dan adik duduk di bagian belakang sebelah kiri. Kabarnya, korban kebanyakan berada di sebelah kiri. Adik saya yang duduk di kursi paling belakang sempat terlempar keluar dari bus. Adik terlempar karena goncangan bus dan pintu yang terbuka. Ini bisa dilihat dari luka serius di kepalanya," katanya lirih.
Soal nasib sopir, Fatkhur menyerahkan semua proses hukum kepada polisi.
Amir Tejo
KOMENTAR