Mengenang Sang Iron Lady, Cincin Baru di HUT Perkawinan Terakhir (1)

Menjalani bahtera rumah tangga selama 33 tahun bersama Endang Rahayu Sedyaningsih (57) memberi banyak kenangan manis bagi sang suami, dr. MJN Mamahit, SpOG, MARS (59). Mamahit yang terlihat begitu tegar, tak bisa menyembunyikan lara hatinya saat menceritakan masa-masa indahnya bersama almarhumah. "Dia juga belum sempat melihat cucu pertamanya lahir. Tapi dia pernah bilang, 'Enggak apa-apa, toh, nanti bisa melihat dari atas.'" Berikut obrolan mengenang Endang seusai tahlilan di kediaman pribadi mereka, Kamis (3/5).

Menikah selama puluhan tahun tentu meninggalkan banyak kenangan, ya?

Sangat banyak. Sulit kalau dijabarkan satu per satu. Awalnya, kami sama-sama mahasiswa FKUI, saya angkatan tahun 1972, dia 1973. Waktu itu, saya tidak naik kelas di tingkat dua, tapi itu justru jadi anugerah karena akhirnya jadi sekelas dengan dia.

Langsung terpikat?

Awalnya, sih, saya biasa saja. Namun saat melihat dia, saya terkesima, kok, ada perempuan cantik, cukup tinggi, independen, dan agak tomboi. Ternyata, setelah berkenalan, memang perangainya seperti itu. Tidak kemayu, kalau kata orang Jawa, bahkan setelah jadi menteri. Temannya juga lebih banyak laki-laki ketimbang perempuan.

Apa yang menarik dari almarhumah?

Orangnya punya prinsip. Itu yang saya suka darinya. Waktu kami pacaran, dia bilang, kalau mau pacaran sama dia, ya, hanya sama dia saja. Tidak boleh dengan yang lain. Awalnya kami berteman dulu selama beberapa waktu, lalu pacaran sejak duduk di tingkat tiga. Hubungan kami lancar-lancar saja, meski menurut dia saya tidak romantis. Namun, baginya tidak masalah, karena dia juga tidak, ha ha ha... Yang penting, dia tahu bahwa saya sangat sayang padanya.

Kalau menurut almarhumah, apa yang membuatnya jatuh cinta pada Anda?

Katanya, saya berani melakukan pendekatan tapi tetap dengan gaya sopan. Waktu itu saya tahu dia sudah punya pacar, sedangkan saya tidak. Saya nguber dia. Misalnya kalau ketemu saat kuliah, saya ajak makan. Kalau ketemu di kafe kampus, saya akan melayani dia, mengambilkan ini-itu di meja. Dia bingung karena waktu itu kami belum terlalu kenal. Dari situlah akhirnya dia luluh.

Langsung menikah? 

Setelah beberapa lama pacaran, kami bertunangan. Menikahnya setelah lulus kuliah. Saya masih ingat tanggalnya, 22 April 1979. Setelah lulus itu, saya bekerja menjadi dokter di tambang minyak Pertamina lepas pantai di Laut Jawa, sedangkan Endang jadi dokter di RS Pertamina Jaya di Jakarta. Dua minggu sekali saya di laut, sisanya di darat. Mungkin itu pula yang membuat Endang belum kunjung hamil. Sekitar Maret 1980 barulah dia hamil dan melahirkan anak pertama kami pada Desember. Waktu dia melahirkan, dia hanya didampingi saya. Begitu pula saat melahirkan anak kedua dan ketiga.