Menikah selama puluhan tahun tentu meninggalkan banyak kenangan, ya?
Sangat banyak. Sulit kalau dijabarkan satu per satu. Awalnya, kami sama-sama mahasiswa FKUI, saya angkatan tahun 1972, dia 1973. Waktu itu, saya tidak naik kelas di tingkat dua, tapi itu justru jadi anugerah karena akhirnya jadi sekelas dengan dia.
Langsung terpikat?
Awalnya, sih, saya biasa saja. Namun saat melihat dia, saya terkesima, kok, ada perempuan cantik, cukup tinggi, independen, dan agak tomboi. Ternyata, setelah berkenalan, memang perangainya seperti itu. Tidak kemayu, kalau kata orang Jawa, bahkan setelah jadi menteri. Temannya juga lebih banyak laki-laki ketimbang perempuan.
Orangnya punya prinsip. Itu yang saya suka darinya. Waktu kami pacaran, dia bilang, kalau mau pacaran sama dia, ya, hanya sama dia saja. Tidak boleh dengan yang lain. Awalnya kami berteman dulu selama beberapa waktu, lalu pacaran sejak duduk di tingkat tiga. Hubungan kami lancar-lancar saja, meski menurut dia saya tidak romantis. Namun, baginya tidak masalah, karena dia juga tidak, ha ha ha... Yang penting, dia tahu bahwa saya sangat sayang padanya.
Kalau menurut almarhumah, apa yang membuatnya jatuh cinta pada Anda?
Katanya, saya berani melakukan pendekatan tapi tetap dengan gaya sopan. Waktu itu saya tahu dia sudah punya pacar, sedangkan saya tidak. Saya nguber dia. Misalnya kalau ketemu saat kuliah, saya ajak makan. Kalau ketemu di kafe kampus, saya akan melayani dia, mengambilkan ini-itu di meja. Dia bingung karena waktu itu kami belum terlalu kenal. Dari situlah akhirnya dia luluh.
Langsung menikah?
Setelah beberapa lama pacaran, kami bertunangan. Menikahnya setelah lulus kuliah. Saya masih ingat tanggalnya, 22 April 1979. Setelah lulus itu, saya bekerja menjadi dokter di tambang minyak Pertamina lepas pantai di Laut Jawa, sedangkan Endang jadi dokter di RS Pertamina Jaya di Jakarta. Dua minggu sekali saya di laut, sisanya di darat. Mungkin itu pula yang membuat Endang belum kunjung hamil. Sekitar Maret 1980 barulah dia hamil dan melahirkan anak pertama kami pada Desember. Waktu dia melahirkan, dia hanya didampingi saya. Begitu pula saat melahirkan anak kedua dan ketiga.
Buat kami, tidak perlu lah "se-RT" berangkat mengantarkan. Mungkin karena kami sama-sama dokter, ya, jadi santai saja menghadapinya. Setelah lahir, barulah memberitahu sanak saudara. Oh, ya, tanggal 22 April lalu, persis ulangtahun pernikahan kami ke-33. Waktu itu dia sudah dirawat di RSCM sejak 1 April. Hari Sabtu 21 April, dia masih makan kambing. Nah, rencananya kami mau makan-makan pada hari ulangtahun pernikahan kami.
Ternyata hari itu dia enggak mau makan dan kondisinya terus menurun. Akhirnya hanya saya, anak-anak, dan menantu yang makan (di RS). Pada hari itu, saya beri dia cincin pernikahan yang baru saya pesan dua hari sebelumnya. Sama seperti ini (Mamahit menunjukkan cincin emas putih bermata berlian yang dipakainya).
Mengapa membeli cincin baru?
Sebetulnya dia pernah bilang, pengin ganti cincin pernikahan yang baru karena yang lama sudah tidak muat lagi di jarinya. Sama seperti saya. Makanya, cincin yang lama tidak dipakai. Sekarang dia lebih gemuk dibanding dulu. Waktu menikah, berat dia hanya 46 kg. Sudah sejak lama saya merencanakan ini, tapi enggak pernah kasih tahu ke dia. Ternyata dia suka, mengucapkan terima kasih, dan langsung dipakai. Tapi hanya selama tiga hari. Berat, katanya. Hari itu dia masih bisa bercanda, berkomunikasi, dan tahu bahwa hari itu ulangtahun pernikahan kami.
Sejak kapan persisnya almarhumah mengidap kanker?
Setahun setelah menjadi menteri. Tepatnya menjelang akhir 2010. Waktu itu dia punya inisiatif melakukan medical check-up. Waktu saya tanya alasannya, katanya sebagai bentuk tanggungjawabnya sebagai pejabat negara dia harus terbukti sehat sehingga bisa mengemban tugas dengan baik. Saat itulah diketahui ada kanker paru stadium empat dalam tubuhnya.
Hasuna Daylailatu / bersambung
KOMENTAR