Aku sungguh tak menyangka jika malam itu akan menjadi malam terakhirku bertemu Ayu, istriku. Sebelumnya aku tak merasakan firasat apapun saat bertemu Ayu. Sore harinya, sekitar pukul 15.00 Ayu memang ke luar rumah. Ia sengaja tak pamit karena beralasan saat itu aku sedang tidur. "Kasihan jika harus dibangunkan," ujar Ayu kepada orangtuaku. Saat itu aku memang masih kelelahan karena baru saja pulang dari luar kota mengunjungi keluarga yang punya hajat.
Kendati tak pamit padaku, Ayu pamit ke ayahku, Imron. Ayu bilang, akan ke rumah orangtuanya di Kendung, Benowo, Surabaya. Ayu bahkan meminjam sepeda motor Mio beromor L 5444 QK, milik orangtuaku. Sekitar pukul 20.00, Ayu meneleponku, memberitahukan sedang berada di mal. Ayu juga bilang, baru membeli diapers untuk anak kami, Muzafarr, yang masih berusia 2,5 tahun.
Sesaat sebelum Ayu menelepon, sebenarnya aku juga baru saja membeli diapers di salah satu mini market dekat rumah. Kebetulan diapers untuk Mujafarr sudah habis. Saat Ayu menelepon, aku berujar, "Buat apa beli diapers banyak-banyak? Soalnya aku juga baru beli." Selanjutnya, Ayu juga memintaku menemuinya di mal untuk mengambil diapres yang baru dibelinya. Ia mengaku tak bisa langsung pulang karena masih akan bertemu temannya, Tania Eka Damayanti.
Dengan sedikit ogah-ogahan karena masih merasa lelah sepulang dari luar kota, akhirnya aku menuju mal untuk menemui Ayu. Saat bertemu di mal, tak ada perasaan aneh yang aku rasakan. Semuanya berjalan seperti biasa. Setelah menyerahkan diapers, Ayu kembali bilang masih harus pergi lagi dengan Tania untuk sesuatu hal.
Aku pun tak berpikir macam-macam. Apalagi kepergiannya malam itu bersama Tania yang memang kukenal sebagai teman dekat istriku. Saat itu aku hanya berpesan, jangan pulang terlalu malam. Ayu juga memintaku untuk segera pulang, karena kasihan Muzafarr jika ditinggal terlalu lama.
Tak Kunjung Pulang
Setelah percakapan itu, aku pulang dan Ayu pergi bersama Tania. Tak ada yang aneh. Namun aku tak langsung ke rumah, tapi menyempatkan mampir ke tukang servis telepon yang terletak di ujung gang rumahku untuk membetulkan gangguan pada layar ponselku.
Sesampainya di rumah, aku pun tak langsung beranjak tidur. Meski badan ini masih terasa lelah, aku mencoba menunggu Ayu. Namun detik demi detik aku menunggu, ternyata Ayu tak kunjung pulang. Padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul 00.00. Tak seperti biasanya Ayu pulang selarut ini. Aku coba menghubungi ponselnya beberapa kali. Anehnya, ponselnya mati.
Hatiku mulai gelisah. Tak seperti biasanya istriku begini. Jika memang tak pulang ke rumah dan ingin menginap di rumah orangtuanya, istriku biasanya selalu pamit. Terkadang Ayu memang menginap di rumah orangtuanya. Selain melepas kangen, juga membantu abah dan uminya berjualan di pasar.
Namun kali ini hatiku benar-benar resah. Apalagi saat bertemu terakhir di mal, Ayu tak bilang akan menginap di rumah orangtuanya. Hingga dini hari aku menunggu, ternyata Ayu tak kunjung tiba. Karena kelelahan, aku sempat tertidur bersama Muzafarr. Aku baru terbangun sekitar pukul 07.00 keesokan harinya.
Saat terbangun, Ayu ternyata belum pulang juga. Aku hubungi lagi ponselnya. Lagi-lagi mati. Sambil duduk di teras rumah, aku mencoba berpikir jernih dan mencari tahu ke mana Ayu. Tiba-tiba, aku didatangi dua anggota Polrestabes Surabaya. Pikiranku jadi semakin kacau. Apalagi mereka lalu berkata, "Sebelumnya, saya minta tabah dan kuatkan hati dulu," kata salah seorang petugas.
Aku semakin gundah. Ada musibah apa ini? Apakah istriku yang tak pulang semalam mengalami kecelakaan? Pertanyaan dalam benakku pun terjawab ketika anggota polisi itu mengeluarkan ponsel dan menunjukkan foto di dalamnya. "Apakah Bapak mengenal perempuan ini?" ujarnya sambil menunjukkan foto wajah istriku yang sudah terbujur kaku. Aku pun histeris dan tak ingat lagi apa yang terjadi.
Pernikahanku dengan Ayu rasanya hanya seumur jagung. Kami menikah pada 2007 lalu. Saat itu, statusku bujang sedangkan Ayu sudah menjanda dengan satu anak, Nadania Atika Sari (5). Namun aku sangat mencintai Ayu dan tak keberatan menikah dengannya. Ayahku juga merestui pernikahan kami. Keluarga Ayu pun mendukung kami.
Tak lama setelah menikah, kami hijrah ke Banjarmasin. Kebetulan abahnya Ayu membelikan sebuah rumah untuk kami tempati. Di Banjarmasin, meski tak hidup berlebihan, kami hidup bahagia. Apalagi Ayu memiliki usaha rias pengantin kecil-kecilan. Sedangkan aku, punya usaha dekorasi pengantin. Terkadang kami bekerjasama menangani klien.
Kepulangan kami ke Surabaya sebenarnya untuk sementara. Jelang lebaran tahun lalu, ayah dan ibuku memintaku menjenguk mereka. Karena sudah tiga tahun kami tak pulang. Selama di Surabaya, kami tinggal di rumah orangtuaku, Jl. Purwodadi. Dan daripada menganggur, aku mencoba bekerja jadi sopir taksi. Sedangkan Ayu jadi ibu rumah tangga.
Selama di Surabaya juga kami sering menyempatkan jalan-jalan ke mal. Kami kerap melihat ada lomba model cilik di mal. Ayu lalu bercita-cita, jika Muzafarr sudah agak besar akan diikutkan lomba model cilik bersama kakaknya, Nadania. Namun, belum sempat cita-cita itu terwujud, Ayu sudah dipanggil Yang Maha Kuasa.
Terang saja, perasaanku saat ini masih kalut. Aku belum bisa berpikir apa selanjutnya yang akan aku jalani sepeninggal Ayu. Tapi yang jelas, di kepalaku saat ini adalah merawat kedua anakku dan mewujudkan cita-cita ibunya memasukkan mereka ke pondok pesantren.
Amir Tejo / bersambung
KOMENTAR