Sungguh saya bernasib buruk. Betapa tidak. Akibat sebuah operasi, beberapa hari kemudian justru nanah bercucuran dari lubang bekas operasi. Bahkan kini meninggalkan lubang yang tak henti mengeluarkan feses. Malapetaka berawal dari keinginan saya menyembuhkan penyakit. Tiap kali usai makan siang, perut sebelah kanan selalu terasa nyeri dan perih. Berulangkali minum obat maag, tidak ada hasilnya. Puncaknya, saya tidak kuat lagi berjalan.
Pada 15 Maret 2011, dengan diantar Mamak, saya mendatangi Klinik Assyifa, sekitar 1 km dari rumah saya di Desa Wedamartani, Ngemplak, Sleman. Sore itu, saya diperiksa oleh dr Wisnu Broto. "Kemungkinan sakit usus buntu," jawab dr Wisnu kala saya menanyakan hasil diagnosanya.
Selesai diperiksa, saya dan Mamak duduk di ruang lain menunggu obat. Saat itulah kami bertemu dengan Pak Irwanto. Beliau sehari-hari berprofesi sebagai Mantri Kesehatan di Puskesmas Ngemplak. Waktu itu Pak Ir tanya, saya sakit apa? Mama saya bilang usus buntu. Mamak lalu tanya, kalau benar usus buntu, bisa tidak operasi di klinik itu. Berapa biayanya? "Nanti saya tanya dokternya dulu," jawab Pak Ir.
Sore itu, darah saya juga diambil untuk diperiksa di laboratorium.Waktu kami mau pulang, Pak Ir sempat minta agar saya istirahat dan kembali lagi ke klinik esok harinya jam 11.00. Katanya, saya akan dioperasi jam 14.00.
Esok siang, saya bersama Mamak kembali ke klinik. Sekitar jam 15.00. saya tetap dioperasi. Dokter yang mengoperasi, namanya dr Hery, ahli anestesi. Selain itu, ada juga dr Wisnu, drSetyanto, SpB, dan perawat.
Kondisi Tak Membaik
Ketika sadar, saya sudah berada di ranjang ruang perawatan. Setelah empat hari rawat inap, saya disuruh pulang dan diminta tiga hari kemudian kontrol ke Assyifa. Belum sampai tiga hari, saya sudah balik ke klinik karena tidak kunjung bisa buang angin. Badan saya malah panas, perut buncit, dan mulas. Saya ditangani Pak Irwanto. Perban dibuka lagi. Pak Ir bilang, lukanya sudah baikan. Lalu saya diberi obat pencahar biar bisa BAB. Padahal, saya tidak bermasalah dengan BAB.
Namun, kondisi saya tidak menjadi baik. Tiga hari kemudian, saya balik lagi ke Assyifa lantaran sudah tidak kuat menahan sakit. Lalu, ada tetangga yang menyarankan agar saya diperiksakan lagi ke dr Hery di RS Condong Catur. Benar, dr Hery sedang praktik di sana.
Dokter membuka jahitan operasi. Ketika jahitan operasi pertama dibuka, langsung muncrat nanah. Saya dan dokter Hery sama-sama terkejut. Nanahnya enggak habis-habis, mengeluarkan bau busuk. "Harus opname," kata dr Hery. Hari itu, saya dioperasi lagi untuk menguras nanah. Bagian bawah pusar dilubangi dan dipasangi selang untuk mengeluarkan nanah.
Selang beberapa hari, kondisi malah semakin buruk. Ketika kain kassa penutup bekas operasi kedua dibuka, terlihat lukanya membusuk, hitam, dan bernanah. Kulit pinggir seputar lubang itu juga menghitam dan busuk.
Dibantu dua perawat, dr Hery memotongi kulit yang menghitam itu. Rasanya? Sakit sekali karena tidak dibius lokal. Saya teriak dan menangis sekencang-kencangnya. Selanjutnya, saya ditawari agar opname saja di RSUD Sleman agar bisa dirawat dan diawasi dr Hery. Biayanya, kata dr Hery, bisa memakai Jamkesda. Saya menurut saja apa kata dokter.
Lalu, keluarga menanyakan, apa penyakit saya, karena sejak dioperasi di Klinik Assyifa belum pernah dibertahukan penyakitnya. Juga tidak diberi surat keterangan apa-apa. "Penyakit kurang gizi," begitu jawab dr Hery tiap kali kakak saya bertanya. Jawabannya terkesan asal-asalan. Karena tidak jelas penyakitnya, keluarga saya kesulitan memperoleh Jamkesda.
KOMENTAR