Berhubung biaya yang dikeluarkan orangtua di RSUD sudah banyak, total mulai pengobatan mencapai Rp 60 juta, saya dibawa pulang meski penyakitnya belum baik betul. Kami menyewa satu perawat untuk membantu merawat luka bekas operasi. Baru beberapa hari di rumah, lubang bekas operasi di Klinik Assyifa malah mengeluarkan segala yang saya makan. Kalau saya makan tempe, ya keluar kedelai utuh. Perawat menyarankan agar saya kembali opname di RSUD. Karena sudah berobat di sana dan tidak ada perbaikan, saya mulai ragu.
Karena merasa dirugikan, keluarga sepakat melaporkan Klinik Assyifa ke Lembaga Omsbudmen. Pak Irwanto, pemilik klinik ke rumah dan membuat surat perjanjian. Intinya, dia akan mengobatkan saya ke RS.Panti Rapih hingga sembuh total.
Benar, April 2011 saya dibawa berobat ke Panti Rapih. Lima hari pertama opname, saya sudah ditagih biaya oleh pihak RS. Sampai akhrinya kami diberi surat peringatan. Ketika itu, biayanya mencapai Rp 4 juta lebih. Kami telepon Pak Ir. Ia baru membayar setelah memasuki hari ketujuh.
Saya pikir akan dioperasi lagi. Ternyata dokter dari Panti Rapih mengatakan, sudah tiga kali operasi, sehingga dia tidak berani lantaran rumit. Biayanya juga mahal. Karena itu, saya minta pulang. Kebetulan lobangnya sudah mulai menutup dan fesesnya tidak keluar lagi. Saya kembali memanggil perawat dari RSUD ke rumah untuk merawat. Selang beberapa minggu, lobang itu menganga lagi. Terpaksalah kontrol lagi ke RS Panti Rapih lagi dengan biaya sendiri.
Berulang kali kami menanyakan ke Pak Ir soal pembiayaan tapi sudah tidak ada respons. Ia ingkar janji. Karena itu kami sekarang akan menggugat Pak Ir lewat jalur hukum. Pak Ir tidak terima kami menyelesaikan kasus ini secara hukum. Dia minta belas kasihan. Lalu membuat perjanjian baru.
Intinya akan konsisten dengan ucapannya membiayai pengobatan dan perawatan saya sampai sembuh. Nyatanya sampai sekarang janjinya tidak dipenuhi. Itu sebabnya, saya mengadukan nasib ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Yogyakarta. Saya ingin menuntut Pak Ir meneruskan itikad baiknya untuk membiayai pengobatan. Selain itu, saya juga ingin menggugat semua dokter dan perawat yang menangani saat operasi.
Gara-gara sakit, saya juga tidak bisa bekerja lagi. Sungguh, saya sangat menderita akibat operasi ini.
" Kami Mengalir Saja...."
Penasihat hukum dari LBH Yogyakarta yang membantu Dwi, Hamzal Wahyudin, S.H., pada NOVA mengatakan, hingga saat ini pihaknya belum sampai pada tahapan gugatan. "Masih dalam taraf mengintevigasi. Artinya,kami baru sebatas menerima pengaduan dari klien. Karena itu langkah berikutnya, kami berkirim surat ke Klinik Assyifa, doker Herry yang mengoperasi pertama kali untuk minta penjelasan. Yang ketiga kami berkirim surat ke Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman terkait dengan status Klinik Assyifa apakah boleh melakukan tindakan operasi besar seperti usus buntu, atau sekadar terapi pengobatan.," papar Hamzal.
Sementara itu, NOVA mencoba menemui Irwanto ke kliniknya. Sayang, ia tidak mau menemui dan menyerahkan segala urusan tentang Dwi ke pengacaranya, Armunanto, SH. "Kami mengalir saja. Pasrah, maunya pasien bagaimana. Sejauh ini kami sudah ikuti dia, turut membiayai pengobatan ke rumah sakit. Kita lihat saja bagaimana nanti," ucap Armunanto yang hanya bersedia bicara lewat telepon.
Rini Sulistyati
KOMENTAR