Harus ada persiapan matang. Seharusnya di setiap pendakian selalu ada tabung oksigen, HT (handy talky), dan pistol sinar yang bisa memberi tanda dalam kondisi darurat. Tapi, apa pun, kami sudah ikhlas. Mas Wid kembali di tempat yang dia sukai, yakni gunung. Ini memang sudah garis yang ditentukan Allah. Saya juga minta maaf telah merepotkan banyak pihak, dari Presiden sampai para relawan saat evakuasi Mas Wid.
Kecintaan Pak Wid pada gunung memang luar biasa, ya?
Ya. Sejak SMA Mas Wid sangat senang mendaki gunung. Makanya dia memilih pulang di tempat yang dia cintai.
(Bahkan menurut Pudji, asisten Pak Wid, nama Kristal Amalia, putri tunggalnya, diambil dari singkatan gunung-gunung yang ia daki semasa Nina hamil, yakni Gunung Kerinci, Rinjani, Semeru, Tujuh, dan Latimojong.)
Pernah ikut mendampingi Pak Wid naik gunung?
Waktu ke Semeru dan beberapa pegunungan yang enggak tinggi-tinggi, saya ikut. Jalan dengan Pak Wid, cepat sekali. Pernah saat naik gunung, karena waktu itu kami membawa Ela yang masih kecil, saya jalan pelan-pelan. Karena capek, saya berhenti saja. Mas Wid, sih, jalan bablas saja. Pikir saya, "Ah, nanti ketemu di hotel saja." Mungkin karena saat melihat ke belakang saya dan Ela enggak ada, dia turun lagi.
Dengar-dengar Pak Wid punya begitu banyak teman.
Dia memang suka berteman. Dengan siapa saja. Bahkan pernah di awal-awal kami menikah dan pergi ke Eropa, dana penginapan sama sekali enggak terpakai. Di tiap kota dan negara, selalu saja ada yang menumpangi kami menginap. Bahkan pernah, kami tinggal di satu rumah sahabat Mas Wid di mana pemiliknya tidak ada. Jadi kami ditinggali kunci. Lumayanlah. Waktu itu saya masih mahasiswa dan Mas Wid masih jadi dosen muda.
Kabarnya Komunitas Tambora akan membuat prasasti untuk Pak Wid?
Kami, sih, senang saja. Yang penting prasasti itu bisa mengingatkan, persiapan itu perlu setiap kali pendakian.
(Rencana ini memang disampaikan Mbah Rono Kamis malam. Ia minta persetujuan Nina untuk mengabadikan nama sang suami dalam sebuah prasasti yang nanti akan dipasang di Pos 3 menuju puncak Tambora. Selain nama Pak Wid, dalam prasasti itu ada kata-kata terakhir untuk para pendaki yang diucapkannya sebelum ajal menjemputnya, "Menghormati alam dan setiap langkah diiringi doa.")
Malam itu, Diah Bisono (47) dan teman-temannya dari Female Trackers for Lupus menanti kedatangan Widjajono. Mereka memang mendaki sehari lebih dulu. Tunggu punya tunggu Widjajono tak juga tiba. "Baru esok malamnya setelah turun dari Tambora, saya dengar kabar duka itu karena di atas tidak ada sinyal," kisah Diah. Jelas, katanya, ia amat terkejut dan merasa sangat kehilangan.
Pendakian itu, tuturnya, dalam rangka menyambut Hari Kartini. "Saya dan 15 orang lain mengambil jalur Pancasila, sementara Pak Wid memakai jalur Doropeti." Widjajano bergabung dengan Perempuan Pendiri Lupus sejak 2007, setahun setelah PPL berdiri. Bersama PPL, ia kerap mendaki gunung bersama. "Pak Wid bilang, kesamaan umur dengan anggota yang lain jadi alasannya gabung ke PPL. Kalau sama-sama berusia 40 tahun, laju perjalanan jadi enak, tidak ada yang cepat atau pelan. Tapi kalau sekadar naik gunung tanpa misi apa pun, kok, kurang bagus. Maka kami memilih Lupus yang kala itu masih belum banyak dibicarakan orang," lanjut Diah yang juga bekerja sebagau Account Manager di PT Saji Indonesia.
Pendakian terakhir itu, diakui Diah cukup menantang. Selain bentuk kawah yang patah sehingga tak bisa diputari, hujan yang mengguyur pun mengakibatkan perjalanan ditempuh dalam waktu lama. Ia menduga, penyebab kematian Widjajono malam itu karena kesulitan mendapatkan oksigen. "Di saat napasnya pendek, daya serap ke otak tipis, apalagi kalau sudah berumur. Penyerapan oksigennya jadi kurang. Itu memang konsekuensi pendaki gunung."
Banyak kenangan yang dimilikinya bersama Widjajano. "Saya pertama kali naik gunung bersama Pak Wid ke Kilimanjaro. Sebelumnya kami sudah bilang ke Pak Wid, ini adalah kelompok perempuan. Katanya, 'Tidak apa-apa, saya tidak akan merepotkan.' Ternyata benar, saya lihat Pak Wid begitu nyaman dengan alam dan kesendiriannya."
Satu hal yang amat berkesan bagi Diah, "Pak Wid itu tidak pernah ngoyo untuk mencapai puncak. Dia selalu berujar, 'Di mana saya berhenti terakhir, itulah puncak saya.'"
Sukrisna, Noverita
KOMENTAR