Meski keberangkatan ketiga Herman ilegal, "Tapi izin kerjanya sedang diurus di Malaysia dan sudah setor 1.500 ringgit," terang Maksum. Herman beruntung sang majikan mau menanggung sebagian biayanya. "Ia sangat disayang, sampai dibelikan motor juga."
Kepada keluarganya, Herman pun sangat perhatian. "Dia sering telepon. Di malam kejadian dia sempat telepon, tapi tak lama karena mau mancing. 'Nanti kita sambung lagi, Pak.' Itu kata terakhir dia."
Entah firasat atau bukan, seminggu sebelum kejadian, Herman mengirim uang Rp 1,3 juta untuk anak dan istrinya. Mardiah pun pergi mengambil uang, namun di tengah jalan motor yang ia kemudikan sebentar-sebentar mesinnya mati hingga ia pulang lewat senja.
Herman yang memang hobi memancing juga dikenal baik di lingkungan tetangganya.
Akan halnya Kadir, sudah dua kali jadi TKI di Malaysia. "Kami sudah ikhlaskan kematiannya. Semoga dia mendapat surga dalam kuburnya," ujar Inak Supeni (55), ibu Kadir. Seminggu sebelum kejadian, katanya, "Dia telepon, minta empat macam amalan doa."
Menelepon keluarga juga dilakukan korban lainnya, Mad Noor. "Sehari sebelum meninggal dia telepon istri saya, bilang mau mancing dan minta dijemput pulang. Katanya dia mau kawin, padahal kami tak tahu siapa calonnya," ungkap H. Kadri, sang paman.
Putera bungsu pasangan Sure dan Kelawi ini dikenal humoris, periang, dan penurut. Tak tamat MTS, Mad Noor bekerja jadi gembala sapi dan buruh kebun tembakau. Empat tahun belakangan ia bekerja di kebun kelapa sawit. Sama seperti dua korban lain, kepergian ke Malaysia bukan yang pertama kalinya. Cara yang ditempuhnya pun legal secara administrasi, "Mad punya permit bebas, kerja bisa di mana saja di Malaysia."
Kini, setelah hasil otopsi yang menyatakan organ tubuh ketiga keluarga mereka tak ada yang hilang, keluarga menyisakan satu harapan pada pemerintah. "Kami ingin kebenarannya. Keluarga tak terima dengan cara meninggal Kadir yang seperti ini. Saya ingin ada proses hukum internasional!" tukas Tohri keras.
Juru bicara Kedutaan Besar RI (KBRI) untuk Malaysia, Suryana Sastradipraja, menjelaskan, 3 April silam perusahaan pemakaman dari Malaysia datang ke KBRI untuk meminta surat izin pemberangkatan jenazah tiga TKI asal Lombok, NTB. Ketiganya adalah Herman (34), Abdul Kadir Jaelani (25), dan Mad Noor (28). Perusahaan tersebut, jelas Suryana, meminta surat dengan diberi kuasa keluarga korban.
"RS Malaysia tidak mau mengeluarkan jenazah kalau tidak ada surat izin dari KBRI," tutur Suryana saat dihubungi (Kamis, 26/4). Saat itu, "Ketiga jenazah sudah dibungkus rapat dan dipak dari RS."
Selain itu, RS pun menyertakan surat pemeriksaan post mortem (otopsi) yang berisi penyebab kematian yaitu ditembak polisi. "Kami curiga, kok, meninggalnya karena ditembak polisi. Tanggal 3 April, kami langsung mengonfirmasi peristiwa ini ke kepolisian Malaysia," tuturnya.
Ditanya soal perlu-tidaknya pihak RS Malaysia minta izin ke KBRI sebelum mengotopsi jenasah WNI dalam kasus seperti ini, Suryana mengatakan setiap negara memiliki hukum sendiri. Nah, hukum di Malaysia mewajibkan setiap kematian yang tidak wajar untuk diotopsi, tanpa perlu izin. Soal tudingan KBRI tidak mau mengeluarkan biaya pemulangan jenasah ketiga korban, Suryana mengatakan, pihak keluarga tak minta dibiayai. "Kalau mereka minta, tentu akan kami biayai."
Setelah diketahui penyebab kematian ketiga TKI tersebut, Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, meminta pemerintah mengusut tuntas kasus ini. Apalagi, ini bukan kali pertama polisi Malaysia menembak TKI. "Kasus ini seharusnya jadi trigger bagi Pemerintah Indonesia untuk bersikap tegas terhadap Malaysia," kata Anis. Termasuk, tambah Anis, mempertanyakan siapa polisi yang menembak, ada atau tidak surat tugasnya. "Sebab, ini jelas melanggar HAM!" tegasnya.
Saleh dari LSM Koslata yang selama ini mendampingi keluarga korban menguatkan hal yang sama. Dalam waktu dekat, Koslata bahkan akan membentuk tim advokasi hukum untuk membantu kasus ini, "Keluarga hanya berharap ada penjelasan tentang penyebab kematian."
Ade Ryani, Hasuna Daylailatu
KOMENTAR