Jasad ketiga TKI itu memang tak biasa karena penuh jahitan. Ada di kedua mata, lengan, dada, dan perut. Perihal jahitan ini, kata H. Maksum (54), ayah Herman, sesungguhnya sudah diketahuinya lewat kerabat yang juga jadi TKI di Malaysia. "Saya tahu dari Wildan, Misbah, dan Sahabuddin, saudara kami yang memandikan jenazah di Rumah Sakit (RS) Port Dickson, Malaysia."
Meski informasi itu sudah sampai ke telinga sebelum ketiga jenazah sampai ke tanah kelahiran mereka di Lombok Timur (NTB), Maksum mengaku tak tahu mesti berbuat apa. Terlebih, bersama kiriman jenazah itu, "Ada surat keterangan yang menyebutkan mereka meninggal karena ditembak saat akan merampok. Katanya juga, peti tak boleh dibuka karena anak sudah dimandikan dan sudah cukup lama meninggal." Supaya baunya tidak mengganggu tetangga, lanjut Maksum, keluarga tak melihat kondisi jenazah lagi. "Langsung dikubur besok paginya." Jenazah Kadir dan Herman dimakamkan berdampingan di kuburan keluarga, sementara Mad Noor dikebumikan di TPU Embur Teres di Desa Pengadangan.
Seminggu berselang, Maksum dan keluarga besarnya akhirnya mencari tahu apa yang sebetulnya terjadi. Apalagi, ada kabar mereka menjadi korban pencurian organ tubuh. Maksum lalu minta bantuan advokasi dari LSM Koslata, yang kemudian meyakinkan keluarga untuk memohon otopsi ulang. Tim gabungan dokter ahli forensik dari Fakultas Kedokteran Universitas Mataram dan kepolisian setempat pun melakukan otopsi.
"Setelah kain dibuka, ternyata kedua tangan dan kaki juga dijahit. Meski kurang jelas, tapi bola matanya seperti sudah tak ada. Ada daging yang disumpal sebagai pengganti organ. Ada plastik kresek yang membungkus isi kepala lalu dijahit, dadanya juga pecah-pecah," ujar Maksum yang ikut mendampingi proses otopsi. Tekadnya pun semakin bulat. "Kami ingin tahu apa penyebab kematiannya, siapa pelakunya, dan kenapa bisa sampai terjadi."
Antara Utuh dan Tak Utuh
Nun jauh dari Lombok, Kementrian Luar Negeri (Kemenlu) mengumumkan hasil otopsi resmi di Jakarta. Hasilnya sungguh berbeda dengan yang dituturkan Maksum, "Semua organ tubuh seperti mata, otak, jantung, hati, dan ginjal utuh. Bila sebelumnya ada dugaan hilang, itu karena keluarga masyarakat awam," jelas Kepala Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri, Brigjen Polisi DR. Musaddeq Ishaq, DFM.
Untuk memastikan dugaan pengambilan organ tubuh para korban, sebelum dilakukan otopsi ulang, tim dari Kemenlu juga sudah bertemu pihak RS Port Dickson dan lima dokter yang melakukan otopsi di Malaysia. "Dari proses otopsi di Malaysia diperoleh kesimpulan yang ternyata sama dengan kesimpulan otopsi ulang yang dilakukan tim forensik Polri di Lombok," ujar Menlu Marty Natalegawa.
Marty juga mengaku telah mendesak Kepolisian Diraja Malaysia untuk menyelidiki kebenaran kronologi kematian. Pihak Malaysia bersikeras, berdasar laporan warga setempat, ketiga TKI tersebut diduga akan melakukan perampokan. Penembakan lantas dilakukan sebagai upaya pembelaan diri karena ketiganya melawan saat hendak diringkus. "Mengapa ditembak di kepala, apakah sesuai prosedur, dan bagaimana kronologi lengkap peristiwa ini, masih harus kita dalami," ujar Kepala Divisi Humas Polri Irjen Polisi Drs. Saud Usman Nasution, SH, MH.
Soal mata ketiga jenasah yang dijahit, kata Saud, "Karena ada luka tembak di kepala dekat alis sebelah kiri. Mungkin ada luka sobek sehingga mata perlu dilihat apakah ada kerusakan atau tidak, lalu dikembalikan ke tempatnya dan dijahit. Itu sudah sesuai prosedur internasional, seluruh organ yang terkena harus dikeluarkan untuk dianalisa."
Hasil otopsi tersebut, lanjut Marty, juga sudah disampaikan ke keluarga korban di Lombok Timur. Keluarga yang menerima informasi itu di Polres Lombok Timur terlihat syok. "Sebenarnya kondisi organ tubuh sangat mencurigakan. Saya yakin ada yang hilang," ujar Tohri, kakak kandung Kadir. Reaksi sama datang dari Maksum. "Ragu," jawabnya dengan lunglai.
Tewasnya Herman, membuat sang istri, Mardiah, semakin miris. Dulu, katanya, ia tak merestui keinginan suaminya bekerja kembali di Malaysia. Maret 2011 silam adalah yang ketiga kalinya Herman merantau ke Negeri Jiran. "Dia ngotot pergi. Alasannya, perlu kerja mencari uang untuk keluarga dan masa depan Putri, anak kami yang baru berusia 5 bulan."
Saat itu Herman memakai visa pelacong karena jika menggunakan jasa agen, biayanya mahal. "Bisa Rp 4-5 juta. Apalagi, di sana ada pamannya, Abdul Kadir Jaelani, yang bersedia menampungnya." Di sana, sambung Mardiah, suaminya bekerja sebagai buruh bangunan.
Jumat (23/3), Herman yang memang hobi mancing, masih berkirim kabar ke Mardiah. "Dia bilang mau mancing di tempat pemancingan bersama Kadir dan Mad Noor. Itu saja. Setelah itu tak ada kabar."
Tiga hari menunggu tanpa kepastian, Mardiah beserta orangtua Herman dikabari oleh Wildan, sepupu Kadir yang juga bekerja di Malaysia. "Kak Wil bilang, dia baca di koran ada dua motor ditemukan di tempat mancing. Saat lapor kehilangan anggota keluarga, kepolisian menyarankan untuk lihat ke RS," lanjut Mardiah.
Berangkatlah Wildan bersama Hirman, kakak kandung Kadir, dan majikan mereka ke RS Port Dickson. Alangkah terkejutnya mereka mendapati ketiga korban telah tewas dengan banyak "hiasan" jahitan di tubuhnya. Temuan ini lantas segera dikabarkan ke Mardiah sekeluarga. "Saya, ibu, dan bapak mertua pingsan. Suami saya juga dibilang ditembak karena merampok. Tak mungkin dia begitu," ujar Mardiah sambil menggendong bayinya.
Untuk memulangkan jasad Herman, keluarga membayar Rp 13 juta, sementara biaya untuk Abdul Kadir Jaelani dan Mad Noor didapat dari urunan keluarga serta teman-teman TKI di Malaysia. Meski telah melapor pada Selasa (3/4) ke KBRI di Kuala Lumpur, kondisi yang tidak memungkinkan membuat KBRI tidak memeriksa penyebab kematian dan tidak bertanggungjawab terhadap kondisi jenazah yang dikirim.
Ade Ryani, Hasuna / bersambung
KOMENTAR