Desa Janggalan menjadi salah satu sentra penghasil bordir konveksi di Kudus. Sebelum tahun 2000, warga di sini sudah menjadi perajin bordir, meski dalam skala kecil dan tidak terorganisir. Perajin banyak yang menunggu pembeli di rumah atau menitipkan barang ke pedagang di Pasar Kliwon. Ada sekitar 30 perajin konveksi bordir. Tiap perajin rata-rata memiliki 5 hingga 20 pegawai. Salah satu perajin itu adalah Hj. Intan Rosjidah yang kemudian mewariskan usahanya kepada anaknya, Selly Widyawati (35), sejak tahun 2001.
"Saya masih kuliah di Jogja ketika Mama bisnis bordir. Sembari kuliah, saya coba membuat produk sendiri. Antara lain membuat selendang yang pinggirannya ada rumbai-rumbai dan bordir. Lalu saya titipkan ke toko di Malioboro. Ternyata diminati pembeli, khususnya orang Malaysia. Dari situ usaha saya terus berkembang," kata Selly yang juga menitipkan kain-kain bakal kebaya bordir yang sudah terpola. "Kalau mau bikin baju kurung dan kebaya, tinggal memotong saja."
Selesai kuliah, Selly melihat peluang industri bordir di desanya bisa dikembangkan menjadi usaha potensial. Selly mencari celah untuk lebih mengembangkan usahanya. "Saya pun mencari informasi dan minta bantuan promosi ke UKM Center di Disperindag Kudus. Ternyata mereka bersedia. Bila ada pameran misalnya saja ke Bali dan Jakarta, kami diajak."
Promosi lewat ajang pameran rupanya cukup efektif. Makin banyak konsumen yang mengenali usahanya. Bahkan, Selly dapat pesanan dari Malaysia dan Jepang. Kini, per bulan Selly menerima pesanan di atas 50 lembar kain bordir. Selly mengerjakannya dengan tiga jenis mesin sekaligus. Mesin yang dipakai tergantung pesanan. "Untuk kain-kain bakal kebaya atau baju kurung dan gamis, saya masih menggunakan mesin tangan yang hasilnya halus dan detailnya tampak. Untuk mesin juki, itu seperti bordir Tasikmalaya," kata Selly seraya menambahkan sang ibu masih berperan mengawasi usahanya.
Selly juga membuat produknya makin variatif. Bila diawal usaha ibunya terbatas memproduksi kain kebaya, Selly kini membuat kerudung, jilbab, dan produk suvenir. Misalnya saja penutup dan alas gelas, serta tempat tisu. Yang membanggakan Selly, pelanggannya datang dari berbagai kalangan termasuk istri gubernur. Beberapa desainer dari Jogja dan Jakarta pun pesan padanya, salah satunya Ramli.
Kemajuan industri bordir Kudus, ujar Selly, salah satunya karena perajin terhimpun dalam paguyuban. "Saya sendiri Ketua Kelompok Dahlia yang ada di Desa Janggalan ini. Di sini ada sekitar 30 perajin bordir. Banyak, lho, keuntungan bergabung dengan kelompok. Kalau salah satu dari kami memperoleh order banyak dan tidak bisa mengerjakan sendiri, bisa minta bantuan teman lain. Order pun dikerjakan bersama-sama. Kami juga diajak dalam pemasaran secara berkelompok oleh Disperindagkop. Jadi, silakan tengok usaha kami," ucapnya.
Perajin lain yang mewarisi usaha orangtuanya adalah Yuyun Raunia Rahman (34). Yuyun mengisahkan, sang ibu Hj. Hannah sudah bisnis konveksi sejak tahun 1987. Di tahun 80-an itu, industri konveksi bordir di Kudus mengalami masa jaya. Namun sempat pula surut. "Ini semua gara-gara persaingan tak sehat dengan cara banting harga. Masyarakat juga bosan dengan busana bordir tangan. Para tetangga sempat kolaps, namun ibu tetap tegar melanjutkan usaha busana bordir tangan," kisah Yuyun.
Kala itu, Hannah justru melihat peluang pasar karena perajin lain mulai beralih ke bordir mesin juki dan komputer. "Ibu membuat busana muslim untuk wanita umur 40 tahun ke atas. Nama labelnya Latanza. Pasar potensialnya Jateng, Jatim, dan Jakarta. Cara berjualannya mengandalkan sales dengan menitip jual ke pasar-pasar besar. Saya kala itu masih menjadi orang kantoran setelah lulus menjadi sarjana psikologi UII, Jogja" tutur Yuyun.
Yuyun mengaku sempat tak mau terlibat dalam bisnis konveksi. Namun ibunya selalu mengingatkan, kendati bisnis konveksi penuh hambatan dan tantangan, tetapi memberi keuntungan yang menjanjikan.Karena terus dibujuk ibunya, Yuyun takluk. "Tahun '90-an saya mulai ikut-ikutan menekuni bisnis konveksi. Saya mulai dengan produk gamis model Timur-Tengah yang serba hitam dengan aneka kombinasi bordir warna-warni. Saya memilih hitam karena dipadu dengan benang bordir warna apa pun bisa masuk."
Produk dengan label Rhaunia itu ditujukan untuk pasar perempuan usia 40 tahun ke bawah. "Ternyata langsung booming. Dari bisnis itu saya bisa naik haji bersama suami dan membeli rumah," lanjut Yuyun yang bertekad tidak mau membuat produk yang sudah ada di pasar.
Usaha Yuyun makin berkembang. Ia memiliki 50-60 karyawan yang beraktivitas di dalam dan luar bengkel kerjanya. Yuyun pun mampu memproduksi sekitar 4 ribuan potong. Demi memenuhi keinginan pasar, "Per bulan ia mengganti model atau pola bordir. Namun, ada satu gamis, modelnya sudah tujuh tahun masih diminati," paparnya.
Sayangnya, Yuyun mellihat ada persaingan tak sehat antara sesama pengusaha. Salah satu contoh, beberapa waktu lalu ia membuat satu produk seharga Rp 100 ribu. Produknya ini mendapat sambutan bagus dari masyarakat. "Seminggu kemudian, mereka membuat produk tiruan dengan menurunkan harga sampai Rp 70 ribu. Bahkan ada yang menjual seharga Rp 20 ribu. Harga segitu, kan, tidak bisa diterima akal. Tapi begitulah cara meraih pasar."
Yuyun tak mau ikut-ikutan. Ia lebih suka terus berkreasi untuk meraih pasar. Yang terbaru, adiknya terjun membuat gamis Najwa untuk pasar menengah-atas. Gamis ini penuh dengan hiasan bordir dipadu payet-payet, songket, dan bebatuan. Kesan mewah pun muncul.
Rini Sulistyati
KOMENTAR