Sekolah yang dipimpinnya itu, lanjut Kuntjoro, memang sejak awal difokuskan untuk mencetak tenaga terampil yang bisa bersaing di dunia industri perikanan dan kelautan bertaraf internasional. "Bahkan sebelum lulus siswa sudah dibekali sertifikat penyelamatan diri di laut yang berstandar internasional. Makanya lulusan dari sini, sepanjang siswanya berniat kerja, hampir pasti tidak ada yang jadi pengangguran," imbuhnya.
Bahkan, jika memang tidak ingin segera bekerja tapi ingin tetap memperdalam ilmu kelautan dan perikanan, di sekolah tersebut juga sudah didirikan sub kampus D1 Poltek Universitas Negeri Jember secara gratis.
SMK yang berada di bawahan naungan Yayasan Ponpes Darul Bihar Puger ini memiliki tiga jurusan. Masing-masing, nautica kapal penangkap ikan, teknik kapal penangkap ikan, serta teknologi hasil perikanan. Untuk jurusan pertama dan kedua semua siswanya laki-laki, sebab mereka kelak dikhususkan sebagai tenaga terampil di kapal dan pengolah ikan di tengah laut. "Tapi untuk jurusan yang ketiga, sebagian besar perempuan sebab lulusannya kami salurkan ke perusahaan pengolahan ikan," papar Kuntjoro.
Siswa SMK ini juga diberi bekal praktik lapangan yang cukup. Misalnya, untuk nautica dan teknik mesin kapal, di tahun awal kelas dua siswa diwajibkan praktik di berbagai galangan kapal selama dua bulan. Ketika memasuki kelas tiga, siswa juga diwajibkan untuk kerja praktik ikut kapal penangkap ikan yang ada Benoa, Bali. "Jadi siswa di sini, sejak sekolah sudah tahu bagaimana bekerja di kapal penangkap ikan asing," imbuh Kuntjoro. Sejak kelas satu, siswa juga diajari Bahasa Jepang.
Namun, lanjut Kuntjoro, sekolahnya menganut sistem pendidikan setengah militer. Artinya, ia juga menerapkan ketahanan fisik serta menggembleng mental dengan disiplin yang tinggi. "Bekerja di bidang seperti ini tentu fisik harus prima serta mental harus kuat. Jika tidak bisa, bayangkan bagaimana dia bisa kuat berlama-lama bekerja di tengah lautan," dalih Kuntjoro. Makanya, "Biasanya, di tengah masa pendidikan jumlah siswanya mengalami penyusutan sampai 10 persen.
Kendati sekolahnya menghasilkan tenaga-tenaga terampil, biaya pendidikannya terbilang relatif rendah. Untuk masuk sekolah ini setiap siswa hanya dikenai biaya gedung sebesar Rp 2 juta, sedangkan SPP bulanannya hanya sebesar Rp 100 ribu. "Kami menarik biaya pendidikan rendah sekali, dan itu sangat meringankan siswa yang sebagian besar berasal dari daerah," jelas Kuntjoro yang setiap tahunnya menerima sekitar 100 siswa.
Noverita, Gandhi / bersambung
KOMENTAR