Kebetulan saya tipe yang aktif di banyak kegiatan. Juga bukan tipe istri manja yang mengekor kegiatan suami. Klop lah karena Bapak pantang istrinya ikut-ikut kegiatan dia. Saya juga beradaptasi dengan kegiatannya. Ada masanya ketika jadi wartawan yang gila kerja, dia jarang pulang, tidur cuma dua jam, kemudian lanjut kerja lagi. Ini dilakukan sampai sukses memiliki grup media. Saya asyik dengan keibuan saya, dia asyik dengan kebapakannya. Enjoy saja. Ha ha ha...
Termasuk saat jadi Direktur PLN?
Saat diangkat jadi Direktur PLN, saya orang pertama yang tidak setuju dan marah. Alasannya, kesehatan Bapak pasca transplantasi hati, kan, tidak seperti dulu. Dia ibarat mendapat nyawa sambungan karena sebelumnya divonis dalam waktu enam bulan bakal meninggal.
Dua tahun kami habiskan untuk berobat di Cina (2007-2009). Itulah momen yang membuat akhirnya Bapak, anak-anak, dan cucu bisa berkumpul lama. Suasana rumah tangga pada umumnya yang dialami orang lain, ya, baru kami rasakan saat itu. Kebahagiaan sudah lengkap dengan kehadiran anak dan cucu, apa lagi yang dicari? Saat muda dia sudah sangat sibuk, janganlah masa tua juga dibuat sibuk. Lebih baik menikmati hasil dan bermain dengan cucu.
Perlu proses cukup lama hingga saya bisa memberikan setengah restu karena khawatir akan kesehatannya. Tapi dia meyakinkan saya. Katanya, biarlah dua tahun mengabdi membenahi PLN. Dari Surabaya, saya kemudian menemaninya tinggal di Jakarta.
Adakah bedanya dengan saat ini di BUMN?
Bapak dilantik jadi Menteri BUMN bersamaan dengan anak saya menjadi juara dunia dalam kompetisi tahunan World Young Reader Newspaper of the Year 2011 di Wina, Austria, Oktober 2011 silam. Selesai acara, ada wartawan bilang ke saya, "Mama (Nafsiah kerap dipanggil Mama oleh awak media, Red.) harus pulang."
Begitu tahu Bapak mau dilantik, saya dan anak-anak menangis. Ternyata begini, ya, suka-duka kehidupan saya. Menderita panjang tapi diberi anugerah suami jadi menteri dan anak dapat juara dunia.
Namun reaksi kami tetap sama, protes! Mungkin ada orang yang senang diangkat jadi pejabat, tapi kami malah menangis sedih. Dalam pikiran saya, kapan terbebas dan punya waktu bersama? Awalnya, kan, target Bapak ingin menyelamatkan PLN dalam kurun waktu dua tahun. Belum juga masa jabatannya berakhir, diminta negara mengurusi BUMN. Menerima amanah ini tentu tanggung jawabnya besar. Maka saya dan Bapak berprinsip, kalau kuat kami akan maju terus. Kalau tidak kuat, kami pulang.
Kami tak mau terikat karena ini bukan permintaan kami. Sampai saya ditepuk Pak SBY saat pelantikan, lalu saya jelaskan kondisi kesehatan Bapak. Presiden bilang, "Insya Allah, Allah akan memberi jalan." Maka dukungan terhadap karier Bapak hingga saat ini pun mengalir begitu saja meski gebrakan-gebrakan yang dilakukannya bikin saya agak ketar-ketir. Sebab, sebagai istri, saya tahu bagaimana semua ini berproses.
KOMENTAR