Baca berita tanpa iklan. Gabung Nova.id+
Apa ada ancaman atas aksi-aksi yang dilakukannya?

Ada tapi kami waspada dan selalu berdoa. Insya Allah, Allah selalu melindungi. Niat kami baik, tidak terlintas untuk minta A, B, C, D, E, F. Kami juga tidak menggunakan fasilitas negara. Makanya waktu dilantik, kami siapkan diri. Jiwa kami pekerja, bukan yang mencari-cari nama atau muka. Kami ingin menyelamatkan negara dari kepincangan-kepincangan. Itu bukan hal gampang.

Saya juga terima cibiran segala macam, tapi saya jalani saja.

Bagaimana awal perkenalan dengan Bapak?

Kami bertemu dalam kegiatan organisasi PII (Pelajar Islam Indonesia). Berdua, kami sering mengisi program siaran religi RRI di Samarinda. Saya yang baca Al-Qur'an, dia jadi penceramahnya. Intens bertemu, kami merasa cocok, lalu pacaran selama lima tahun. Tahun 1975 kami menikah di Samarinda.

Sebelumnya, dia kuliah di Fakultas Tarbiyah IKIP Sunan Ampel (sekarang IAIN), lalu pindah ke jurusan hukum. Sedangkan saya menjalani pendidikan profesi guru (SPG). Asal tahu saja, dia itu transmigran di Kalimantan, ikut kakaknya merantau dari Surabaya.

Bapak terlahir dari keluarga santri. Masa kecilnya dihabiskan jadi santri di pondok pesantren di Madiun. Tak puas dengan ilmu yang dipelajarinya, dia ikut pendidikan kewartawanan dan terpilih jadi putra daerah meski bukan asli Kalimantan. Setelah itu, tahun 1976 jadi wartawan di Tempo dan bergabung dengan Jawa Pos mulai tahun 1982.

Seperti apa kehidupan kala itu?

Menjadi wartawan adalah pekerjaan yang tak kenal jam. Setelah anak pertama (Azrul Ananda) lahir dan berusia 7 bulan, kami pindah ke Surabaya. Di sana, kesibukannya makin menjadi. Kami juga hidup prihatin karena dia bukan tipe yang suka foya-foya. Tidak ada itu perayaan momen istimewa, semisal ulang tahun anak, pernikahan, dan lainnya.

Kami berdua lantas punya komitmen, suami fokus bekerja sementara istri ada di belakang layar. Saya pegang semua urusan rumah tangga. Begitu pula saat anak kedua (Isna Fitriana) lahir. Saya baru kembali berkegiatan saat anak-anak melanjutkan sekolah di Amerika Serikat.

Bapak, kan, workaholic, bagaimana menjelaskan kepada anak-anak?

Ya, kadang mereka memang rindu ayahnya. Tapi kalau dipikir lagi, semua ini demi masa depan. Saya beri pengertian pada anak-anak lalu beri mereka banyak kegiatan positif. Untung anak-anak mengerti dan berprestasi dengan caranya.

Sebenarnya Bapak tak mau anaknya jadi wartawan. Makanya anak-anak dikirim ke AS supaya sekolah cari ilmu lain. Eh, ternyata di sana bapak angkatnya juga pemilik perusahaan media. Celaka, kan? Sampai akhirnya anak saya enggak mau pulang. Ha ha ha... Sifat kritis dan kemandirian ayahnya juga menurun kepada mereka.

Ade Ryani / bersambung


Halaman Sebelumnya


PROMOTED CONTENT

REKOMENDASI HARI INI

Cara Menghilangkan Noda Gosong di Panci Aluminium dengan Bahan Dapur

Penulis : nova.id
Editor : nova.id

KOMENTAR

Tag Popular

#wina Widodo

#eeng Wiratmaja

#athina Papadimitriou

#dhini Aminarti Hamil

#enrico Tambunan

#fibroadenoma Mammae

#tabloid Nova Terbaru

#lebaran 2024

#mudik Gratis

#tiket Mudik Gratis