Esther Gayatri Saleh Srikandi di Udara
Jumlah pilot uji (test pilot) di Indonesia hanya tersisa tiga orang dan hanya satu yang perempuan. Dialah Captain Esther Gayatri Saleh (49). Sosoknya tegas dan sigap, namun bersahabat. Perempuan kelahiran Palembang, 3 September 1962, ini memulai karier penerbangan di PT Dirgantara Indonesia (Indonesian Arospace) yang dulu dikenal dengan nama IPTN (Industri Pesawat Terbang Nurtanio/Nusantara). Terhitung sudah 27 tahun pemilik double captain ini menekuni profesinya.
Kecintaan Esther pada dunia dirgantara tidak diturunkan dari mana pun. Ayahnya adalah Kepala Kantor Imigrasi di Tarakan, Kalimantan Timur. Sebelum menjadi pilot, Esther bekerja sebagai fotografer Istana Kepresidenan di era Soeharto. "Suatu kali saya memotret kegiatan Komando Pertahanan Wilayah Dalam Teritorial Pangdam AU. Kami naik pesawat CASA yang amblas saat mendarat di tanah lembek. Saya ikut mendorong, wah, seru sekali," kenang Esther. "Tak tahunya bertahun-tahun kemudian saya menerbangkan pesawat serupa."
Perkenalannya dengan pesawat berlanjut ketika sedang bertugas di Kalimantan. "Sebuah perusahaan helikopter menjelaskan berbagai fungsi komponen pesawat kepada saya. Ketika itulah saya lalu mempertimbangkan cita-cita menjadi pilot," ujar Esther yang tadinya ingin menjadi wartawan perang dan astronot.
Meski di awal cita-cita ini tak direstui kedua orangtuanya, Esther tak gentar. Ia lalu mendaftar ke sekolah pilot Sawyer School of Aviation di Phoenix, Amerika Serikat. Awalnya Esther berniat mendaftar ke sekolah pilot di Indonesia, namun, "Saya dibilang kurang tinggi dan berasal dari jurusan sosial di SMU. Di luar negeri saya diterima berdasarkan hasil medical check up dan kompetensi yang dimiliki."
Lulus dari sekolah dan kembali ke Indonesia, karier Esther tak langsung mulus. "Saat itu orang masih alergi dengar pilot perempuan. Apalagi lisensi terbang saya dari Amerika dan harus dikonversi ke Indonesia. Biayanya tak murah, saya lalu dibantu almarhum Wiweko Soepono, Dirut Garuda Indonesia."
Selanjutnya, dengan bantuan BJ Habibie, Esther pun bisa bergabung dengan PT Dirgantara Indonesia (DI) pada 1984. "Saya bergabung sebagai co-pilot, tapi banyak sekali ilmu lain yang saya dapat di sini," ujar Esther yang pernah mempresentasikan pesawat rakitan PT DI yakni CASA 212 ke Pemerintah Filipina. "Selama empat bulan saya menyusuri bagian utara hingga selatan Filipina dengan kondisi semi perang. Yang diangkut adalah tentara dan logistik."
Lingkungan kerja yang didominasi kaum pria juga tidak membuat Esther ciut. Ia malah tertantang membuktikan kompetensinya setara dengan para pria. Tak mudah memang, kata Esther. Ia melaluinya dengan doa dan air mata. "Keraguan mereka memang tidak terang-terangan, tapi tersirat. Saya merasakan betul itu. Tapi dari situ juga mental dan karakter saya dibentuk," kata wanita yang pernah menguji coba empat buah pesawat dalam sehari.
Pekerjaan sebagai penguji pesawat ini kemudian dirasakannya sebagai panggilan jiwa. "Bayangkan, secara fisik saya kurang tinggi. Ditambah latar belakang yang bukan dari dunia eksata, sebuah keajaiban saya bisa mendapat banyak kesempatan emas," ucapnya. Ingin menambah ilmu, Esther lantas memutuskan sekolah lagi dengan biaya sendiri. Tahun 1994, ia disahkan menjadi captain. Dalamnya pengetahuan Esther tentang pesawat lantas membuatnya dipercaya menjadi pilot uji atau test pilot, khusus untuk menguji pesawat baru buatan PT DI.
"Test pilot itu penuh risiko, satu step sebelum astronot. Maka itu buat pesawat tak mudah, dari tiap proses harus bisa dipertanggungjawabkan komponennya." Pengalaman paling berkesan ia alami saat melakukan manuver dengan satu mesin pesawat dimatikan. "Meski bahaya, menguji limitasi itu sangat perlu karena jadi pengarahan bagi pilot operator."
Walau kerjaannya menguji, Esther tetap mengikuti dari awal tahap pembuatan pesawat. "Saya terbang tidak nitip nyawa saya ke orang lain. Sesama profesional harus kerjasama tim," lanjut Esther yang juga telah merasakan jatuh bangunnya PT DI sebagai perusahaan. Pernah di saat masa krisis, PT DI tak bisa menggaji karyawan selama dua bulan. "Begitu ada pesawat baru siap saya uji coba, saat take off mereka semua teriak gembira. Artinya, akan gajian. Begitulah perjuangan kami. Ha ha ha...," seloroh Esther
Untungnya, kini PT DI telah menggeliat lagi. Maret lalu, Esther mengirim pesawat CN-235 MPA pesanan Korea Selatan. Selain Korea Selatan, permintaan pesawat berasal dari Thailand, Brunai Darussalam, Uni Emirat Arab, Malaysia, dan Pakistan. "Saat paling membanggakan adalah ketika masuk teritori udara negara pemesan, lewat radio komunikasi kami ditanya apakah pesawat ini yang dipesan dari Indonesia? Wah, bangga rasanya saat menjawabnya," tukas Esther yang selain menjadi pilot juga memiliki perusahaan di bidang pelatihan dan animasi sistem penerbangan.
Ade Ryani / bersambung
KOMENTAR