Dari namanya sudah terlihat bahwa usaha kuliner ini berasal dari Jawa Timur. Dan memang selain ayam penyet, menu-menu yang disediakan disini pun khas Jawa Timur. Satu yang menjadi istimewa adalah sambal yang digunakan dalam aneka penyet yang ditawarkan. Sambalnya pun super pedas!
"Untuk membuat konsep usaha ini butuh waktu sekitar satu tahun, agak lama memang. Tapi itu perlu dilakukan agar usaha ini bisa bertahan lama dan menjadi besar, untuk itu butuh perencanaan yang besar," ujar Aji yang bernama lengkap Ariaji Dwi Prakoso (23), salah satu pemilik Cak Mamenk.
Aji membuat usaha ini bersama kakak kandungnya, Dimas Eko Prasetyo (28). "Sudah lama saya ingin jadi wirausahawan. Setelah menjalani beberapa usaha, saya memilih fokus mengembangkan Cak Mamenk. Usaha kuliner kami pilih karena selalu ada di mana-mana dan tetap bertahan. Mengapa? Karena setiap orang butuh makan. Biasanya juga usaha seputar "perut" akan lancar," tukasnya seraya tertawa.
Buka perdana pada 5 Februari 2011, awalnya usaha ini kurang mendapat perhatian. "Tapi setelah melakukan sedikit promo melalui media sosial dan dari kampus ke kampus, kini beromzet Rp 1 - 2,5 juta. Sempat buka cabang di Ciganjur dan Jakarta, tapi kurang berjalan baik akhirnya kami tutup karena ingin fokus di Depok dulu. Setelah di sini berjalan baik, mungkin ke depannya akan buka cabang lagi atau di-franchise-kan."
Cak Mamenk adalah panggilan sang kakak yang memang mengawali usaha ini. "Kami berdua sempat pindah-pindah kerja. Selain kerja di beberapa perusahaan, saya dulu punya band dan dimanajeri kakak. Tapi Ibu kami yang memang suka masak punya cita-cita ingin buka usaha rumah makan. Akhirnya saya dan kakak ngumpulin uang untuk buka rumah makan ini," pungkas pria berkacamata ini.
Meski namanya berbau Sunda, namun siapa sangka jika ternyata usaha yang terletak di samping danau di Universitas Indonesia ini berasal dari Yogyakarta. Engking Sholikhin (45) atau yang lebih dikenal dengan Mang Engking adalah pemilik restoran khas berbentuk gubuk dan bernuansa alam.
Mang Engking yang berasal dari Tasikmalaya, hijrah tahun 1996 ke Yogyakarta untuk mengembangkan usaha budidaya udang dan ikan air tawar. Mang Engking berhasil memasarkan udang galah hingga ke Bali. Sayangnya, akibat tragedi bom Bali I pada tahun 2002, Engking mulai kesulitan memasarkan udang galahnya ke Bali. Akhirnya ia mencoba memasarkannya sendiri dengan membuat rumah makan yang ternyata langsung menyita banyak perhatian masyarakat.
Di antara beberapa item menu yang ditawarkan, udang bakar madu dan gurame cobek langsung menjadi primadona. Beberapa cabang pun dibuka hingga ke Depok pada tahun April 2007. "Konsep lansekap alami, gubuk, dan berdiri di atas air tetap dipertahankan agar tercipta nuansa tradisional," tutur Sutopo (63), Manajer Mang Engking Depok.
Udang galah bakar madu memang pantas jadi primadona. Selain menggunakan udang segar, penggunaan bumbu yang tepat dan meresap membuat rasanya makin nikmat. "Satu kuintal udang habis di hari biasa. Gurame habis 150 ekor. Jumlah itu bisa 2-3 kali lipatnya di akhir minggu. Lokasi di Depok mampu menampung 600 pengunjung sekali datang. Kami juga bisa di-block untuk rapat, reuni, atau pernikahan," terang Sutopo.
Edwin Yusman F
KOMENTAR