Masih di kawasan Kota Solo, hotel butik juga bisa ditemukan di Jl. Dr. Sutomo. Letak hotel ini tak jauh dari Dalem Kalitan (rumah masa kecil mendiang ibu negara Tien Soeharto). Tak heran bila salah satu kamar terbaiknya executive suite dinamakan Kalitan Room. Selebihnya, kamar-kamar dijual dalam golongan President Suite dan Delux rooms.
Hotel yang kental bernuansa Jawa Solo itu bernama De Solo Hotel & Cafe. Sesuai namanya, hotel ini dilengkapi kafe dan resto. Tamu bisa memesan hidangan Eropa, China, maupun Jawa mulai pukul 07.00 pagi hingga 23.00. Di sini juga ada fasilitas spa dan pijat dengan ramuan tradisional boreh asli Bali. Juga ada De Solo Bar tempat bersantai sembari menikmati international mocktail/ cocktail .
Menurut GM De Solo, Iskandar, hotel ini memiliki 34 kamar yang terdapat di bangunan lama dan baru. "Tamu di sini kebanyakan bule dan orang pemerintahan. Bule lebih suka menempati bangunan utama yang adem dan rindang dengan lindungan pohon pisang. Beda dengan orang pemerintahan yang lebih suka gedung baru. Orang lokal juga suka makan di sini daripada ke luar hotel."
De Solo masuk dalam katagori hotel butik lantaran menjual keaslian alam dan bentuk bangunan hotel lama, keramahan, dan memberi pelayanan terbaik.
Andalan De Solo lainnya adalah menawarkan beberapa hidangan khas Solo seperti nasi liwet, sup buntut, dan olahan daging sapi lada hitam. Kelezatan sup buntut olahan Chef Sugiyanto sudah terkenal. Tak heran, banyak tamu yang menginap di beberapa hotel berbintang di Solo, "lari" ke De Solo sekadar memburu kelezatan sup buntut Chef Sugi. "Padahal makanan di sana juga enak, lho. Tapi, ya tetap saja mereka ke mari. Biasanya jam 4 sore restoran di sini ramai," timpal Oscar, Marketing Manager De Solo.
Oscar mengakui, tarif hotel De Solo lebih tinggi ketimbang beberapa hotel berbintang di Solo. Kendati demikian, tamu yang kebanyakan dari Eropa tetap saja datang. "Kami menawarkan sesuatu tentang cita rasa makanan dan suasana Jawa. Orang asing pun suka sekali sekali," tegas Oscar.
Lantas apa yang membuat tamu memilih tinggal di hotel butik. "Saya suka suasananya. Lebih kekeluargaan dan tenang. Tiap kali berkunjung ke Solo, saya dan keluarga pasti tinggal di hotel itu. Sebisa mungkin kamarnya juga yang itu," tutur Henny R, warga Kudus (Jateng) yang mengaku lebih suka tinggal di hotel butik, ketimbang hotel berbintang saat liburan bersama keluarga atau berbisnis di Solo.
Posisi bangunan Hotel Griya Tetirah di Jalan Sukowati, Salatiga, sedikit masuk ke dalam gang. Akan tetapi, tamu tetap datang silih berganti. Lokasi menjorok ke dalam gang pemukiman justru memberi keuntungan. Tamu menemukan suasana ketenangan. Kokok ayam dan kicau burung di pagi hari, memberi nuansa ala perkampungan yang dirindukan banyak orang kota.
Griya Tetirah menyediakan sekitar 15 kamar, terdiri dari dua kamar family yang lega dan selebihnya kamar kelas standar. Semuanya memiliki fasilitas pendingin AC, kamar mandi dengan air panas dan dingin, TV, serta mini bar. Griya Tetirah yang dimiliki Renanta, seorang kontraktor, menawarkan tarif termahal Rp 900 ribu. "Banyak tamu yang menginap di sini. Banyak di antara mereka yang akan menghadiri acara wedding di Salatiga," terang Endah Wahyuningsih, penanggung jawab Griya Tetirah.
Bangunan Hotel Giya Tetirah tergolong baru dengan arsitek modern, namun kental dengan nuansa Jawa. Unsur kayu amat kuat mendominasi perabotan. Kayu-kayu penyangga bangunan menambah unsur ketenangan. "Konsep kami memang ingin membuat tamu nyaman selama tinggal di hotel ini. Mereka merasa bagai rumah sendiri," tambah Endah.
Menurut Endah, restoran di hotel itu juga dibuka bagi masyarakat umum untuk bersantap siang maupun malam. Nah, bagi yang ingin sekadar mengunjungi Griya Tetirah tanpa perlu menginap, bisa mengunjungi restoran dan menikmati menu yang disediakan sambil menikmati suasana teduh.
Rini Sulistyati
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
KOMENTAR