Kemudian 2,5 tahun lalu, saya bertemu pengarang kondang asal Surabaya, mendiang Lan Fang. Beliau bilang, zaman sekarang sudah tak ada lagi dokter-dokter yang mau menulis. Lalu saya bilang, ya, boleh lah saya menulis. Menurut Lan Fang ketika itu, sastra sebenarnya memberikan pedoman atau ajaran kepada masyarakat. Seorang sastrawan tidak bisa disepelekan. Karena sastrawan juga seorang pengajar. Dan masih kata Lan Fang, saya sebenarnya cocok jadi sastrawan karena saya juga dokter yang mengajari orang untuk mencegah kanker. Kata Lan Fang lagi, tulisan saya cuma butuh sentuhan atau diperhalus lagi bahasanya dengan bahasa perasaan, sehingga menjadi bahasa sastra.
Lalu saya juga mengobrol dengan para kiai. Saya tanya mereka, apakah zaman dulu ada sastrawan? Beliau-beliau sambil senyum-senyum berkata dan semua sepakat bahwa Islam mengembangkan ajarannya melalui sastra. Di zaman dulu mereka disebut sebagai penyair. Kisah Muhammad SAW, misalnya, diceritakan ke mana-mana oleh para penyair. Jadi di zaman dulu penyair juga ditokohkan. Saya kemudian berpikir, kalau saya bisa jadi pendekar atau pemain bola, atau the best drummer, lantas apa susahnya jadi sastrawan?
Apa yang dilakukan untuk membuktikan jika Anda juga bisa membuat karya sastra?
Beberapa teman menyarankan saya untuk mulai menulis saja. Kata mereka, bisa dimulai dengan membuat otobiografi. Saya lalu memutuskan menulis buku yang di dalamnya terdapat tiga tema berbeda. Saya sebut ini sebagai buku 3 in 1. Pertama, dalam buku saya menulis otobiografi. Agar anak-anak saya bisa baca dan tahu apa yang dilakukan bapaknya dari lahir hingga mati.
Kedua, saya juga menulis tentang masalah kesehatan populer yang menjadi makanan sehari-hari saya. Dan ketiga, novel. Di novel ini saya berpikir begini, mereka menilai saya sebagai orang yang keras dan kasar. Saya memang seorang petarung. Tapi kemudian saya ingin membuktikan, saya bisa menulis novel yang bisa membuat orang nangis secara ikhlas. Novel ini bercerita tentang seorang ibu karier yang mengidap kanker. Namun ia tetap berusaha memosisikan diri sebagai ibu dan istri. Dalam kondisi ini, biasanya semua anggota keluarga menjadi kalut.
Dari mana ide membuat novel Mom Please Don't Die?
Saya sering bertemu orang-orang sakit. Selain si sakit, orang-orang di sekitarnya pun ikut menderita. Misalnya ada keluarga si sakit berkata, "Kalau bisa Mama diselamatkan, ya, Dok. Mama jangan mati sekarang karena saya masih belum siap." Ini dikatakan oleh semua orang. Baik tua maupun muda yang mengetahui ibunya terkena kanker. Doa mereka sama, "Mom, please don't die". Ini yang sekarang saya kawal terus.
Anda pemegang rekor Muri untuk Talkshow Estafet Terbanyak di 23 Radio dan Presentasi Kampanye Peduli Kanker Serviks dan Kanker Payudara dengan 131 Pembicara pada 2009. Sebenarnya apa tujuan membuat rekor itu?
Ha ha ha... Saya tak punya duit. Kalau saya ingin menyebarkan brosur kampanye untuk tiga juta warga Surabaya soal cara pencegahan kanker, saya jelas tak mampu. Kemudian saya berpikir bagaimana caranya agar bisa menyampaikan pesan ini. Akhirnya saya menemukan cara bahwa informasi penting ini bisa disampaikan melalui media masaa. Tapi saya juga berpikir lagi, berita seperti apa yang menarik untuk media? Nah, kemudian saya memutuskan membuat rekor MURI saja. Kan, media biasanya tertarik dengan berita pemecahan rekor. Asal tahu saja, untuk membuat kampanye itu saya tidak mengeluarkan dana sama sekali.
Amir Tejo
KOMENTAR