Entah firasat atau tidak, yang pasti beberapa hari sebelum kejadian, perasaanku enggak enak. Kadang, aku terbangun malam hari dan susah tidur lagi. Mau aktivititas apa saja juga jadi serba salah. Aku enggak mengerti apa penyebabnya. Sempat kuungkapkan hal ini pada suamiku. Dia bilang, enggak ada kejadian apa-apa. Aku diminta agar selalu tenang.
Oh ya, tiga minggu sebelum kejadian, suamiku baru saja umrah bersama beberapa anggota DPR, salah satunya Pak Marzuki Alie. Bapak membawa baju ikrom. Katanya dengan nada serius, "Nanti kalau aku meninggal, tolong pakaikan baju ikrom ini." Wah, kok, becandanya seperti itu. Buru-buru, dia melanjutkan, "Ini wasiat, ya." Sesuai amanatnya, baju ikrom itu dia pakai saat pemakaman.
Tentu saja, begitu banyak kenangan manis selama bersama suamiku yang bekerja di TVRI sejak tahun 1986. Aku kenal dengannya semasa masih sama-sama kos di kawasan Pejompongan. Kami menikah tahun 1994. Sempat beberapa tahun kontrak rumah, tahun 2006 kami menempati rumah di Villa Bintaro Indah. Kami berdua yang memilih lokasi ini.
Kami memang selalu berdua. Apalagi ketika anak-anak sudah beranjak remaja, kami makin sering berduaan. Maklum, kadang anak-anak sudah punya acara sendiri-sendiri. Apalagi, sudah beberapa waktu ini, suamiku ikut pegang acara Nuansa Pagi di TVRI. Ia berangkat malam dan sampai rumah sekitar jam 08.00. Jadilah, kami seharian bersama di rumah.
Sesekali, kami sekeluarga jalan bersama. Tahun lalu misalnya, suami mengajak piknik ke Bali. Terkadang kami berempat sekadar nonton bersama. Terakhir, seminggu sebelumnya, kami bersama-sama nonton film Negeri Lima Menara. Suamiku sudah membaca bukunya. Ia sengaja mengajak anak-anak nonton agar mengetahui keindahan cerita yang sarat inspirasi itu.
Dia memang sangat dekat dengan keluarga, termasuk kepada Jelang dan Kenang. Wah, enggak bosan-bosannya dia menasihati mereka, sampai kadang anak-anak ngedumel. Tapi, begitulah, dia sangat perhatian terutama soal pendidikan. Hampir tiap hari ia ngobrol dengan anak-anak.
Pernah, sih, Jelang ingin jadi jurnalis seperti ayahnya. Katanya, senang bisa jalan ke mana-mana. Suamiku memang sudah meliput ke berbagai tempat. Mulai dari kasus sandera di Papua sampai perdamaian di Aceh. Beberapa kali pula ia tugas meliput ke luar negeri. Selama ini, ia tetap betah di TVRI meski banyak teman-temannya yang pindah ke teve swasta. Katanya, ia ingin ikut membenahi TVRI.
Sesungguhnya aku tak siap ditinggalkan. Selama ini dialah yang mengurus hampir semua kebutuhan keluarga. Dia yang memperhatikan kami semua. Pokoknya, dia adalah lelaki yang paling hebat. Ah, lelaki hebat itu sekarang sudah tiada. Berat memang.
Namun aku harus bisa hidup tanpa dia, demi anak-anak. Aku ingin mewujudkan keinginannya agar anak-anak bisa meraih pendidikan setinggi mungkin. Berulang kali dia mengatakan pada anak-anak, "Orangtua tidak bisa mewariskan harta, tapi ilmu. Inilah yang penting untuk bekal hidup."
Harapanku sekarang hanyalah pelaku penembakan berhasil ditangkap petugas. Kalau tidak, bisa jadi dia akan makan korban lagi. Tentu aku juga berharap petugas keamananan memberi ketenangan pada kami semua. Selamat jalan lelaki hebatku.
Belakangan, kejahatan yang melibatkan senpi alias senjata api memang kian marak. Menurut Ketua Harian Persatuan Menembak dan Berburu Indonesia (Perbakin), Fahira Idris, ada tiga jenis senpi yang beredar di Indonesia. "Senjata api legal yang digunakan oleh TNI dan Polsi juga sipil, senpi ilegal dari pasar gelap, dan senjata rakitan."
Sejak tahun 2005, Mabes Polri sudah melarang kepemilikan senpi bagi masyarakat sipil. Bagi yang sudah kadung memiliki diharuskan mengembalikan senpi ke Polda setempat. Tapi, "Menurut data saya, masih ada sekitar 6 ribu senpi yang belum dikembalikan. Mungkin menunggu itikad baik pemiliknya, karena belum ada rencana penjemputan," bebernya.
Nah, senpi yang selama ini dipakai buat tindak kriminal, menurut Fahira, kebanyakan adalah jenis rakitan atau ilegal. Susahkah merakit senpi sendiri? "Orang Indonesia itu pintar dan kreatif. Siswa STM saja sudah bisa merakit dan membuat mobil, apalagi senjata api?"
Untuk itu, Fahira mengimbau agar pihak berwajib lebih fokus dalam membatasi dan melakukan kontrol terhadap peredaran senjata api. "Tukang-tukang bubut atau tukang pembuat senjata angin ada baiknya dipantau dan dibina Polri. Bukannya dimusuhi atau dirazia sehingga mereka tidak bisa berkreasi dan mendapatkan uang. Justru dengan begitu saya yakin mampu menekan jumlah senjata rakitan yang beredar dalam masyarakat."
Selain itu, "Pihak kepolisian juga harus melakukan kontrol terhadap mainan bernama airsoftgun. Beberapa waktu lalu Mabes Polri sudah menyatakan bahwa airsfotgun bukanlah mainan, melainkan senjata. Tampilan fisiknya 1 banding 1 dengan senjata api asli. Tak heran airsoftgun kerap dijadikan alat pelaku kejahatan," tutupnya.
Henry Ismono, Edwin Yusman F
KOMENTAR