Bagaimana kondisi saat ini?
Sudah jauh lebih baik ketimbang masih tinggal di rumah Pak Regar (P Mangaraja Siregar, majikan Sri, Red.), walaupun saya tak bisa melupakan kejadian kelam itu.
Apa yang terjadi di sana?
Saya diperlakukan tidak seperti manusia. Yang namanya dipukul dan dimarahi, sudah biasa. Saya dikasih makan hanya dua kali setiap hari. Yang paling apes, kalau Pak Regar memarahi istrinya, istri Pak Regar melampiaskan kekesalan pada saya. Lagi-lagi saya kena pukul.
Pernah suatu kali setelah dimarahi Pak Regar, saya lari dari lantai dua ke bawah. Saat turun tangga, saya terjatuh dan gigi depan saya copot. (Sri memperlihatkan gigi depannya yang ompong di bagian atas.)
Apakah benar ada perkosaan juga?
Ya, keponakan Pak Regar yang kerap menginap di rumah melakukan pelecehan seksual pada saya. Dua kali dia melakukannya. Saat itu usia saya baru 9 tahun. Mau marah dan menjerit, rasanya tak bisa. (Mata Sri berkaca-kaca). Anak umur 9 tahun, mana ada daya untuk melawan? Rasanya dunia ini runtuh. Saya hanya bisa menangis. Sedihnya lagi, saat saya ceritakan peristiwa itu pada Pak Regar, dia hanya menjawab, "Ah, biasalah itu."
Omong-omong, bagaimana ceritanya bisa sampai ke rumah Pak Regar?
Saat itu saya masih umur 5 tahun. Orangtua saya, Juhari dan Fatimah, ikut transmigrasi dari Desa Jumo (Temanggung, Jateng) ke Sumatera. Selain saya, adik saya bernama Budiono juga diajak. Padahal di kampung, orangtua saya itu seniman. Mereka main wayang orang.
Saya masih ingat kami berangkat naik pesawat Hercules tapi tidak ingat kami tiba di daerah mana. Yang jelas, di tempat baru itu, kami tinggal di barak.
KOMENTAR