Awalnya semua baik-baik saja tapi saya sering dengar Bapak dan Ibu ribut. Entah soal apa.
Suatu hari Bapak bilang mau pulang ke Jawa. Katanya ada pesta kawinan. Adik saya diajak. Nah, sejak itu mereka tidak pernah kembali. Tinggallah saya berdua dengan Ibu.
Lalu?
Kami hanya sebulan di lokasi transmigrasi itu lalu Ibu kenalan dengan supir yang sering mendistribusikan minyak tanah. Dia yang mengajak kami ke Siantar. Di sana, Ibu sempat jadi pembantu lalu kami pindah ke Sidikalang. Ibu dipercaya temannya mengelola rumah makan tapi lagi-lagi Ibu tak betah. Akhirnya pindah ke Medan kemudian Ibu kawin dengan duda empat anak tapi cuma tahan empat bulan.
Katanya sempat dibawa ke lokalisasi?
Ya. Ceritanya, saya dan Ibu dibawa Aeng, orang yang jualan di sebelah warung kami, ke Siantar. Kami malah dibawa ke lokalisasi di Bukit Maraja, Simalungun. (Mata Sri menerawang). Di sana kami tinggal di rumah yang banyak kamarnya. Saya ingat betul, setiap kali Ibu menerima tamu, saya diungsikan ke kamar sebelah agar tidak mengganggu pekerjaan Ibu.
Suatu malam, Ibu memeluk saya erat sekali sambil menangis. Saya enggak tahu kenapa. Ternyata, esok paginya Ibu kabur meninggalkan saya. (Air mata Sri menetes). Aeng marah besar dan membawa saya ke Medan. Saat itu usia saya 9 tahun.
Apa yang dilakukan Aeng?
Saya dipekerjakan sebagai pembantu, dari rumah ke rumah. Saya harus memasak, mencuci, mengepel, setrika, dan lain-lain. Selama itu, Aeng yang mengambil gaji saya. Padahal saya yang bekerja sampai capek, saking capeknya badan saya sampai bengkok. Pinggang miring ke samping. Tak sanggup bekerja lagi, saya lari ke rumah Yayuk, adik majikan tempat saya kerja.
Suatu hari, Pak Regar datang ke rumah Yayuk. Dia lihat wajah saya kusam dan letih. Yayuk kemudian menceritakan keadaan saya. Pak Regar lantas bilang akan menjadikan saya anak angkatnya karena dia tak punya anak perempuan. Kedua anaknya lelaki. Saya pikir kehidupan saya akhirnya akan berubah.
Ternyata?
Janjinya tidak ada yang ditepati. Saya tidak disekolahkan. (Karena tak pernah menginjak bangku sekolah, hingga usianya sekarang Sri tak bisa baca-tulis, Red.). Belakangan saya tahu data pribadi saya diubah untuk dimasukkan ke Kartu Keluarga mereka. Nama saya diganti jadi Sri Purwasih Naomi, tapi kalau di rumah dipanggil Butet.
Di rumah itu, lagi-lagi saya disuruh jadi pembantu. Jangankan diberi upah atau uang, keluar rumah saja tak boleh. Pak Regar galak tapi istrinya lebih galak lagi.
Menu makan kami juga berbeda. Setiap hari saya hanya makan nasi dari beras yang sudah kehitaman dengan lauk ikan asin. Saya tidur di atas tilam tipis. Salah sedikit saja, dipukul. Pernah saya tidak dengar saat dipanggil, tubuh saya ditendang dan diinjak-injak. Selangkangan saya ditendang, sakitnya luar biasa.
Debbi Safinaz / bersambung
KOMENTAR