Abon tuna produksi Tuti Handoko tergolong produk sehat, lantaran menurutnya, tak ditambahi penyedap maupun zat pengawet. Selain itu, kata Tuti, ikan tuna kaya asam lemak omega-3. Kandungan omega-3 pada ikan air laut, seperti tuna, 28 kali lebih banyak dibandingkan ikan air tawar. "Ikan tuna menyehatkan badan dan akan turut mendorong mencerdaskan anak-anak yang mengonsumsinya," terang Tuti.
Benarkah abon buatan Tuti tergolong produk "sehat"? "Dulu waktu masih bikin abon ikan kampung, saya masih pakai penyedap dan pengawet. Tapi perilaku konsumen Jakarta ternyata lebih mengutamakan makanan sehat. Harga mahal tak jadi masalah, yang penting produknya sehat. Jadi sejak 2008 saya tak pakai penyedap dan pengawet, soalnya produk saya kebanyakan dikirim ke Jakarta." terangnya.
Tuti mengaku, menekuni usaha abon tuna akibat ketidaksengajaan. Berawal dari hobi memasak, Tuti iseng membuat abon ayam kampung. Resepnya ia peroleh dari sang bunda yang juga sering membuat abon ayam. Hasil olahannya ternyata disukai keluarganya.
Sejak itulah Tuti mulai membisniskan abon buatannya. Bermodalkan Rp 500 ribu, Tuti membeli alat, bumbu, dan bahan baku. Hasilnya ia kemas dalam plastik transparan. "Waktu saya titipkan ke beberapa toko oleh-oleh, ternyata laku. Saya jadi melihat peluang di bisnis abon. Pelakunya tak banyak karena tak semua orang bisa bikin abon," terang Tuti yang memberi label Kenanga pada abon ikannya, sesuai nama jalan tempat tinggalnya.
Kelas Ekspor
Sambil terus berproses mempelajari pasar dan mengurus izin usaha, Tuti berinovasi mengubah kemasan. Yang semula hanya dibungkus plastik, lalu beralih ke stoples. "Kalau pakai stoples kaca, khawatir mudah pecah. Jadi saya kembali pakai bungkus plastik tapi dikemas lagi pakai karton yang sudah dilabeli. Saya sebenarnya awam di bidang kemasan ini, tapi kebetulan saya punya teman yang berbisnis di bidang percetakan, jadi bisa memberi saya banyak pilihan kemasan."
Yang menguntungkan lagi, ibunya adalah mantan karyawan BPOM Yogyakarta, sehingga bisa memberitahu cara mengurus izin usaha. "Tapi saya tetap menempuh prosedur resmi. Tempat usaha saya tetap ditinjau, produk saya juga dibawa ke laboratorium," terang Tuti seraya menyebut promosi antar teman bisa ikut memperlancar usahanya. Untuk semakin mengembangkan usaha, pada 2007 Tuti mulai berpromosi lewat dunia maya. Rupanya jalan ini bisa semakin memperluas jaringan pembelinya, terutama dari luar Jogja.
Dalam membuat abon tuna, Tuti memilih tuna dari Lombok, karena tuna tak bisa ditemukan di semua perairan Indonesia. Tuti memilih bagian daging tuna glondongan kelas ekspor berbobot 80-100 kg. "Hasil abonnya memang jauh lebih baik dibanding tuna berbobot di bawah 80 kg. Per bulan saya butuh 1 kuintal tuna segar."
Kini, Tuti telah memiliki sejumlah agen dan reseller di kawasan Jabodetabek dan sebuah kafe di Bali yang menjual produknya. "Saya jual dalam bentuk kemasan 150 gram. Ada dua rasa, original dan pedas. Bila ada yang mau beli dalam bentuk curah, boleh saja. Cuma harganya lebih mahal karena, kan, untuk dikemas dan dijual lagi."
Abon tuna Tuti pun kerap dibawa orang saat bepergian jauh, seperti umrah atau berhaji. "Pernah juga dibawa ke Jepang, Singapura, Malaysia, Thailand, Brunai, Belanda, dan Jerman," terang Tuti yang juga memproduksi abon ayam, abon sapi, dan abon cabai.
Setelah sang suami ikut membantu usahanya, omset per bulan yang diraih Tuti bisa mencapai Rp 16 juta. "Promosi harus tetap saya tingkatkan karena yang namanya bisnis pasti ada persaingan, apalagi produk saya bukan hanya abon tuna. Tapi persaingan itu wajar. Mau tak mau kami dituntut untuk terus berinovasi, memperbaki mutu, dan tetap menjaga kualitas," tutupnya.
Setelah 16 tahun berdinas di tengah laut sebagai anggota TNI AL, menjelang dua tahun masa pensiunnya Suhirto ditempatkan di kampung halamannya, Gunung Kidul, DIY. Ketika itu ia menjabat sebagai Komandan Pos Pengamatan TNI AL Gunung Kidul. Salah satu tugasnya, memberi pembinaan masyarakat desa pesisir. Termasuk memberikan nilai tambah pada hasil tangkapan nelayan dan mengajak masyarakat gemar mengonsumsi ikan.
Hari demi hari ia mengamati masyarakat yang hanya mengonsumsi ikan secara "tradisional". Bila tak digoreng, dikeringkan. Tak ada upaya lain dalam memberi nilai lebih dari hasil tangkapan nelayan. Dari sinilah terbetik keinginan Suhirto memberi "sentuhan" lain pada ikan tuna yang banyak dihasilkan nelayan Pantai Sadeng.
"Awalnya saya buat otak-otak tuna. Tapi karena basah, tak bisa tahan lama. Setahun kemudian saya beralih ke abon tuna yang bisa lebih tahan lama," terangnya. Apa yang Suhirto perbuat, ia ajarkan pula ke masyarakat pesisir, kendati hasilnya belum maksimal direspons warga setempat.
Selanjutnya, Suhirto terdorong membisniskan abon tuna olahannya. Sebab, nelayan Sadeng pada periode Juli hingga Desember bisa menghasilkan banyak tuna dan cakalang. "Biasanya tuna kecil berbobot 1-7,5 kilo saja, dinamakan baby tuna. Nah, kalau cuma dikeringkan, sayang. Makanya saya pilih tuna yang bobotnya 15 kilo, serat dan dagingnya bagus untuk dibuat abon," terangnya.
Disangrai
Memproduksi abon tuna tanpa pengalaman membuat Suhirto harus melalui serangkaian percobaan selama setahun. "Istri yang buat resep dan mengolahnya. Lalu produk itu saya bawa ke LIPI Gunung Kidul agar diteliti kandungan gizi dan proteinnya. Intinya, saya ingin mendapatkan solusi dan bantuan secara teknis dari LIPI," terang Suhirto.
Selanjutnya, pada 2007 Suhirto mengantongi izin usaha dan lolos uji laboratorium. Ia pun mulai berani menjual abonnya secara luas. "Baru satu tahun abon saya sudah bisa menghabiskan dua kuintal tuna segar. Tahun 2011 rata-rata per bulan bisa habis 10 kuintal. Selain promosi dari mulut ke mulut, saya jual secara online dan ikut pameran yang diadakan Dinas Koperasi dan Perdagangan (DKP) Kabupaten Gunung Kidul."
Sayang, hasil tangkapan nelayan Sadeng seringkali tak bisa memenuhi kebutuhan tuna segar yang dibutuhkan Suhirto. "Untung ada suplier tuna dari Pacitan. Tuna memang kadang sulit dicari dan tak di setiap tempat ada. Malah pasca gempa tahun 2006 tak ada ikan sama sekali."
Abon tuna Suhirto bisa bertahan sampai 8 bulan. Kata Suhirto, sebenarnya bisa hingga satu tahun, bila penyimpanannya baik. "Biar awet, kuncinya pengolahannya bukan digoreng tapi disangrai, sehingga bumbunya meresap ke dalam daging tuna."
Keberhasilan Suhirto memproduksi abon tuna membuatnya semakin berani membuat variasi produk. "Sekarang ada tahu tuna, bakso tuna, dan keripik tuna. Semuanya sudah ada sertifikat halal dari MUI dan izin PIRT dari Dinas Kesehatan Gunung Kidul."
Kini setiap sore, rumah Suhirto bagai pasar tiban. "Banyak pembeli dari berbagai kalangan datang ke rumah. Mereka beli banyak dari saya lalu mereka jual lagi. Ya, semacam agen lah. Saya juga menitipkan produk ke toko pusat oleh-oleh Yu Tum." Abon yang diberi label Bu Hirto ini per bungkus dikemas 100 gram dengan harga Rp 13 ribu.
Rini Sulistyati
KOMENTAR