Setelah 16 tahun berdinas di tengah laut sebagai anggota TNI AL, menjelang dua tahun masa pensiunnya Suhirto ditempatkan di kampung halamannya, Gunung Kidul, DIY. Ketika itu ia menjabat sebagai Komandan Pos Pengamatan TNI AL Gunung Kidul. Salah satu tugasnya, memberi pembinaan masyarakat desa pesisir. Termasuk memberikan nilai tambah pada hasil tangkapan nelayan dan mengajak masyarakat gemar mengonsumsi ikan.
Hari demi hari ia mengamati masyarakat yang hanya mengonsumsi ikan secara "tradisional". Bila tak digoreng, dikeringkan. Tak ada upaya lain dalam memberi nilai lebih dari hasil tangkapan nelayan. Dari sinilah terbetik keinginan Suhirto memberi "sentuhan" lain pada ikan tuna yang banyak dihasilkan nelayan Pantai Sadeng.
"Awalnya saya buat otak-otak tuna. Tapi karena basah, tak bisa tahan lama. Setahun kemudian saya beralih ke abon tuna yang bisa lebih tahan lama," terangnya. Apa yang Suhirto perbuat, ia ajarkan pula ke masyarakat pesisir, kendati hasilnya belum maksimal direspons warga setempat.
Selanjutnya, Suhirto terdorong membisniskan abon tuna olahannya. Sebab, nelayan Sadeng pada periode Juli hingga Desember bisa menghasilkan banyak tuna dan cakalang. "Biasanya tuna kecil berbobot 1-7,5 kilo saja, dinamakan baby tuna. Nah, kalau cuma dikeringkan, sayang. Makanya saya pilih tuna yang bobotnya 15 kilo, serat dan dagingnya bagus untuk dibuat abon," terangnya.
Disangrai
Memproduksi abon tuna tanpa pengalaman membuat Suhirto harus melalui serangkaian percobaan selama setahun. "Istri yang buat resep dan mengolahnya. Lalu produk itu saya bawa ke LIPI Gunung Kidul agar diteliti kandungan gizi dan proteinnya. Intinya, saya ingin mendapatkan solusi dan bantuan secara teknis dari LIPI," terang Suhirto.
Selanjutnya, pada 2007 Suhirto mengantongi izin usaha dan lolos uji laboratorium. Ia pun mulai berani menjual abonnya secara luas. "Baru satu tahun abon saya sudah bisa menghabiskan dua kuintal tuna segar. Tahun 2011 rata-rata per bulan bisa habis 10 kuintal. Selain promosi dari mulut ke mulut, saya jual secara online dan ikut pameran yang diadakan Dinas Koperasi dan Perdagangan (DKP) Kabupaten Gunung Kidul."
Sayang, hasil tangkapan nelayan Sadeng seringkali tak bisa memenuhi kebutuhan tuna segar yang dibutuhkan Suhirto. "Untung ada suplier tuna dari Pacitan. Tuna memang kadang sulit dicari dan tak di setiap tempat ada. Malah pasca gempa tahun 2006 tak ada ikan sama sekali."
Abon tuna Suhirto bisa bertahan sampai 8 bulan. Kata Suhirto, sebenarnya bisa hingga satu tahun, bila penyimpanannya baik. "Biar awet, kuncinya pengolahannya bukan digoreng tapi disangrai, sehingga bumbunya meresap ke dalam daging tuna."
Keberhasilan Suhirto memproduksi abon tuna membuatnya semakin berani membuat variasi produk. "Sekarang ada tahu tuna, bakso tuna, dan keripik tuna. Semuanya sudah ada sertifikat halal dari MUI dan izin PIRT dari Dinas Kesehatan Gunung Kidul."
Kini setiap sore, rumah Suhirto bagai pasar tiban. "Banyak pembeli dari berbagai kalangan datang ke rumah. Mereka beli banyak dari saya lalu mereka jual lagi. Ya, semacam agen lah. Saya juga menitipkan produk ke toko pusat oleh-oleh Yu Tum." Abon yang diberi label Bu Hirto ini per bungkus dikemas 100 gram dengan harga Rp 13 ribu.
Rini Sulistyati
KOMENTAR