Selain kelompok dukungan, CISC yang merupakan komunitas para pengidap beragam jenis kanker juga memiliki Rumah Singgah (RS). Setelah bertahun-tahun kegiatan kelompok dukungan CISC berjalan lancar, para pengurus mulai berpikir apa lagi yang bisa dilakukan untuk membantu para pasien. Pada 2009, persis saat ulangtahun CISC ke-6, komunitas ini meresmikan rumah singgah.
"Kami ingin memberikan yang lebih kepada pasien survivor kanker di seluruh Indonesia. Sebab, kami juga pernah merasakan, kemoterapi itu tidak enak dijalani, apalagi bila dilakukan bukan di kota sendiri dan jauh dari keluarga. Maka dari itu kami mendirikan RS," papar Yuniko Deviana (50) yang mengurusi RS CISC. Awalnya, RS pertama CISC terletak di seberang RS Dharmais di kawasan Slipi Jaya, Jakarta Barat.
RS ini memiliki beberapa kamar yang bisa menampung 8 pasien dan 8 pendampingnya. Keterbatasan dana tidak menyurutkan CISC untuk mewujudkan RS. Meski rumah yang ditempati berstatus rumah kontrak sejak RS didirikan hingga sekarang, para pengurus tetap berusaha fokus membantu para pasien dari daerah yang tidak mampu.
Antara lain, pasien yang memanfaatkan fasilitas dari pemerintah untuk menjalani pengobatan, termasuk Jamkesmas, Jamkesda, dan sebagainya. "Kami memilih untuk membantu pasien dari daerah karena seringkali mereka lebih membutuhkan bantuan, terutama soal penginapan. Karena tak punya saudara di Jakarta, mereka terpaksa menginap di masjid atau koridor dan lobi rumah sakit," lanjut Yuniko.
Padahal, kebersihan dan kesehatan lingkungan sangat penting bagi pasien kanker. Itu sebabnya, CISC lantas mendirikan RS. Kini, CISC memiliki empat RS, yaitu di Slipi Jaya, di sekitar RS Persahabatan, dan dua buah di sekitar RSCM. Yuniko mengakui RS milik CISC terbilang sederhana, termasuk dalam hal fasilitas yang disediakan. Namun, setidaknya itu cukup membantu mereka untuk hidup lebih sehat.
Murah & Bermanfaat
Dengan berkumpul di satu rumah dengan penyakit dan pendampingan yang sama, para pasien tidak lagi merasa sendiri. Bahkan bisa saling mendukung dan melakukan berbagai aktivitas bersama, misalnya memasak, nonton teve, berbagi informasi, atau jalan-jalan. "Kebersamaan ini penting bagi mereka. Kalau mereka bisa merasa hidup tidak seberat ketika harus dijalani sendirian, proses pengobatan akan lebih lancar. Kami harap RS ini bisa jadi rumah kedua buat mereka," ujar Yuniko.
Ia menambahkan, dengan mengenakan biaya sebesar Rp 10 ribu per orang per harinya, RS CISC menyediakan tempat tidur, bebas mengambil nasi putih dan air putih. Air bersih, gas, minyak goreng, garam, gula serta fasilitas lain seperti dapur dan perlengkapannya bisa digunakan secara gratis. "Lauk-pauk bebas memasak sendiri karena selera orang, kan, beda-beda. Apalagi dengan kondisi seperti itu," papar perempuan yang berhasil melawan kanker payudaranya 10 tahun silam ini.
Yang paling penting, menurutnya, adalah air bersih, kamar yang memadai dan ventilasi yang baik. Sebab, para pasien ini rentan terhadap kuman. Saat NOVA berkunjung ke RS di Slipi Jaya yang dua bulan lagi habis masa kontraknya, terlihat para pasien sedang mengobrol santai di dalam rumah. Nora, salah satu dari mereka, tengah bersiap pulang ke Surabaya karena dinyatakan sel kankernya sudah bersih oleh dokter.
"Bu Nora jadi contoh buat saya. Semangatnya tinggi, sehingga akhirnya bisa dinyatakan sembuh," ujar Yasmin Umar (47), pasien kanker lidah asal Pontianak yang baru dua bulan tinggal di RS CISC. Saling berbagi dan menguatkan, menurut Yasmin, adalah manfaat tinggal di CISC. "Kalau tinggal di kos, suasananya akan jauh berbeda. Selain hanya dapat satu ruang kamar, kami pasti hanya di kamar terus. Kalau tinggal di sini, lingkungan sekitar rumah enak, ke rumah sakit pun tinggal jalan kaki."
Manfaat CISC juga dirasakan Apit Supriyadi (47), pasien nasofaring (kanker kelenjar getah bening) asal Batam. Berkali-kali berobat secara alternatif bertahun-tahun membuat hartanya menipis. "Saya bersyukur ada RS yang murah seperti ini, sangat membantu untuk pasien yang tidak mampu. Akan lebih bagus lagi bila lebih banyak donatur bagi orang-orang seperti kami. Sebab, setelah kami yang pencari nafkah ini terkena kanker, kami tak bisa lagi bekerja," harap Apit.
Hasuna Daylailatu / bersambung
KOMENTAR