Kanker dikenal sebagai penyakit yang mematikan. Beratnya penderitaan, baik fisik maupun psikis, membuat pasien kanker sangat butuh berbagi (sharing). Itu sebabnya, pada 21 April 2003 didirikan Cancer Information & Support Center (CISC) yang diprakarsai Aryanti Baramuli dan Yuniko Deviana. Keduanya yang berhasil bertahan melawan kanker lalu mengajak sejumlah orang termasuk Sri Suharti (58) untuk mendirikan CISC.
Salah satu kegiatan CISC adalah kelompok dukungan (support group), yaitu ajang berkumpulnya para pasien kanker dan orang-orang yang peduli kanker untuk saling berbagi informasi. "Dengan adanya support group, diharapkan lebih banyak orang yang tahu soal kanker sehingga bisa berbagi informasi ke keluarga. Ketika divonis dokter, biasanya pasien mengalami beberapa tahap, antara lain tidak percaya, mengingkari, dan marah," ujar Sri yang jadi pengurus support group CISC.
Tahap-tahap ini, menurut Sri, tidak boleh terlalu lama dialami supaya tidak terlalu terpuruk. Dengan ikut CISC, diharapkan pasien bisa melewati semua tahap itu dengan nyaman. Awalnya, pertemuan kelompok dukungan CISC ini berlangsung dua minggu sekali di sebuah rumah di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat. Namun, banyaknya permintaan membuat ajang ini kini berlangsung di empat lokasi, yaitu di Jalan Imam Bonjol, Kelapa Gading, RS Cipto Mangunkusumo dan RS Dharmais (Jakarta).
Setiap pertemuan biasanya punya tema, tergantung permintaan anggota atau yang sedang banyak dikeluhkan mereka. Selain sesi berbagi informasi, pertemuan yang biasanya dihadiri sekitar 100 orang ini juga diisi dengan mengundang pakar, misalnya dokter atau psikolog. "Para pakar ini biasanya tidak mau dibayar," lanjut perempuan yang berhasil melawan kanker payudara ini. Acara pertemuan biasanya diakhiri dengan latihan dansa atau teater. "Latihan ini membantu terapi karena pasien jadi senang dan fokus pikiran jadi teralihkan."
Siap Setiap Saat
Keberadaan kelompok dukungan, menurut Sri, dirasakan sangat bermanfaat bagi pasien kanker karena membuat diri mereka lebih kuat. "Saat sesi sharing, pasien jadi tahu, apa yang dia rasakan tidak separah orang lain, sehingga dia jadi lebih kuat menghadapi penyakitnya," imbuh perempuan yang bekerja di perusahaan swasta ini. Selain itu, para pasien jadi lebih ceria dan menyikapi penyakitnya dengan lebih sederhana.
"Sebelum bergabung, pasien merasa seolah-olah dialah yang paling menderita sedunia dan akan meninggal," tutur Sri yang suaminya lebih dulu dipanggil Tuhan karena mengidap kanker pada waktu yang sama. Bagi relawan pendukung, kelompok ini membuat mereka lebih mudah berbagi informasi kepada masyarakat agar lebih peduli dan tidak lari dari masalah. Sebab menurutnya, ketika divonis kanker kebanyakan pasien akan mencari pengobatan alternatif.
Pengobatan kanker yang utama, menurutnya, tetap harus secara medis. Pengobatan alternatif boleh saja, tapi hanya penunjang. "Banyak orang yang ketika akhirnya berobat medis kankernya sudah stadium lanjut karena sebelumnya lama berobat alternatif ke sana-sini," ujar Sri. Sementara bagi keluarga pasien, kelompok dukungan ini membuat mereka lebih mengenal kanker serta cara mendampingi pasien.
Pasien, kata Sri, sebaiknya harus mandiri, jangan terlalu tergantung pada keluarga, karena keluarganya sendiri sudah stres dengan penyakit yang diderita pasien. Jadi, lanjutnya, jangan saling menyalahkan, saling minta perhatian, dan sebagainya. "Itu sebabnya keluarga harus memberi dukungan tapi jangan sampai membuat dia invalid," tandas ibu tiga anak ini. Selain hampir setiap hari melakukan pendampingan, para relawan kelompok dukungan CISC juga siap dihubungi setiap saat oleh pasien.
"Ada pasien yang menelepon tengah malam untuk curhat soal suaminya yang jadi cuek setelah tahu istrinya terkena kanker. Nah, pasien butuh orang yang mau mendengarkan dan memberinya motivasi supaya semangat hidupnya tetap ada," lanjut Sri sambil menambahkan, siapa pun boleh jadi anggota kelompok dukungan CISC yang kini beranggotakan ratusan orang, asalkan peduli kanker. Kini kelompok dukungan CISC juga ada di Semarang, Batam, Bandung, Balikpapan, dan Manado.
Selain kelompok dukungan, CISC yang merupakan komunitas para pengidap beragam jenis kanker juga memiliki Rumah Singgah (RS). Setelah bertahun-tahun kegiatan kelompok dukungan CISC berjalan lancar, para pengurus mulai berpikir apa lagi yang bisa dilakukan untuk membantu para pasien. Pada 2009, persis saat ulangtahun CISC ke-6, komunitas ini meresmikan rumah singgah.
"Kami ingin memberikan yang lebih kepada pasien survivor kanker di seluruh Indonesia. Sebab, kami juga pernah merasakan, kemoterapi itu tidak enak dijalani, apalagi bila dilakukan bukan di kota sendiri dan jauh dari keluarga. Maka dari itu kami mendirikan RS," papar Yuniko Deviana (50) yang mengurusi RS CISC. Awalnya, RS pertama CISC terletak di seberang RS Dharmais di kawasan Slipi Jaya, Jakarta Barat.
RS ini memiliki beberapa kamar yang bisa menampung 8 pasien dan 8 pendampingnya. Keterbatasan dana tidak menyurutkan CISC untuk mewujudkan RS. Meski rumah yang ditempati berstatus rumah kontrak sejak RS didirikan hingga sekarang, para pengurus tetap berusaha fokus membantu para pasien dari daerah yang tidak mampu.
Antara lain, pasien yang memanfaatkan fasilitas dari pemerintah untuk menjalani pengobatan, termasuk Jamkesmas, Jamkesda, dan sebagainya. "Kami memilih untuk membantu pasien dari daerah karena seringkali mereka lebih membutuhkan bantuan, terutama soal penginapan. Karena tak punya saudara di Jakarta, mereka terpaksa menginap di masjid atau koridor dan lobi rumah sakit," lanjut Yuniko.
Padahal, kebersihan dan kesehatan lingkungan sangat penting bagi pasien kanker. Itu sebabnya, CISC lantas mendirikan RS. Kini, CISC memiliki empat RS, yaitu di Slipi Jaya, di sekitar RS Persahabatan, dan dua buah di sekitar RSCM. Yuniko mengakui RS milik CISC terbilang sederhana, termasuk dalam hal fasilitas yang disediakan. Namun, setidaknya itu cukup membantu mereka untuk hidup lebih sehat.
Murah & Bermanfaat
Dengan berkumpul di satu rumah dengan penyakit dan pendampingan yang sama, para pasien tidak lagi merasa sendiri. Bahkan bisa saling mendukung dan melakukan berbagai aktivitas bersama, misalnya memasak, nonton teve, berbagi informasi, atau jalan-jalan. "Kebersamaan ini penting bagi mereka. Kalau mereka bisa merasa hidup tidak seberat ketika harus dijalani sendirian, proses pengobatan akan lebih lancar. Kami harap RS ini bisa jadi rumah kedua buat mereka," ujar Yuniko.
Ia menambahkan, dengan mengenakan biaya sebesar Rp 10 ribu per orang per harinya, RS CISC menyediakan tempat tidur, bebas mengambil nasi putih dan air putih. Air bersih, gas, minyak goreng, garam, gula serta fasilitas lain seperti dapur dan perlengkapannya bisa digunakan secara gratis. "Lauk-pauk bebas memasak sendiri karena selera orang, kan, beda-beda. Apalagi dengan kondisi seperti itu," papar perempuan yang berhasil melawan kanker payudaranya 10 tahun silam ini.
Yang paling penting, menurutnya, adalah air bersih, kamar yang memadai dan ventilasi yang baik. Sebab, para pasien ini rentan terhadap kuman. Saat NOVA berkunjung ke RS di Slipi Jaya yang dua bulan lagi habis masa kontraknya, terlihat para pasien sedang mengobrol santai di dalam rumah. Nora, salah satu dari mereka, tengah bersiap pulang ke Surabaya karena dinyatakan sel kankernya sudah bersih oleh dokter.
"Bu Nora jadi contoh buat saya. Semangatnya tinggi, sehingga akhirnya bisa dinyatakan sembuh," ujar Yasmin Umar (47), pasien kanker lidah asal Pontianak yang baru dua bulan tinggal di RS CISC. Saling berbagi dan menguatkan, menurut Yasmin, adalah manfaat tinggal di CISC. "Kalau tinggal di kos, suasananya akan jauh berbeda. Selain hanya dapat satu ruang kamar, kami pasti hanya di kamar terus. Kalau tinggal di sini, lingkungan sekitar rumah enak, ke rumah sakit pun tinggal jalan kaki."
Manfaat CISC juga dirasakan Apit Supriyadi (47), pasien nasofaring (kanker kelenjar getah bening) asal Batam. Berkali-kali berobat secara alternatif bertahun-tahun membuat hartanya menipis. "Saya bersyukur ada RS yang murah seperti ini, sangat membantu untuk pasien yang tidak mampu. Akan lebih bagus lagi bila lebih banyak donatur bagi orang-orang seperti kami. Sebab, setelah kami yang pencari nafkah ini terkena kanker, kami tak bisa lagi bekerja," harap Apit.
Hasuna Daylailatu / bersambung
KOMENTAR