Bagaimana menyikapi putusan hakim menyangkut kasus suami Anda?
Sedih, sangat kecewa, dan sakit hati. Saat bersaksi di persidangan, dr. Mun'im Idris menyebutkan memar di batang otak suami saya bukan karena penyakit, melainkan trauma psikis. Saya yakin suami saya tidak meninggal begitu saja. Pasti ada kekerasan di sana. Namun hakim malah memvonis tiga terdakwa (yang menemui Irzen di dalam ruangan sesaat sebelum meninggal, Red.) dengan hukuman satu tahun karena perbuatan tidak menyenangkan. Kalau tidak salah, akhir bulan ini mereka akan bebas karena kejadiannya, kan, 29 Maret 2011.
Jadi?
Ini putusan yang sangat tidak berdasarkan kemanusiaan. Mereka tidak merasakan bagaimana perasaan kami bertiga (Esi dan kedua anaknya, Red.) kehilangan orang yang sangat kami cintai, tempat bergantung. Padahal anak-anak masih sangat membutuhkan figur seorang ayah pada usia remaja seperti ini. Sayang, hanya begitu saja mereka menilai nyawa seorang ayah. (Mata Esi tampak berkaca-kaca.) Saya benar-benar kecewa pada hukum di Indonesia. Ternyata benar, hukum di Indonesia punya kasta. Orang-orang seperti kami yang tidak punya harta benda, jangan berharap mendapat keadilan di negeri ini.
Reaksi anak-anak?
Mereka sangat kecewa. Pernah mereka ikut hadir dalam sidang tapi kecewa karena melihat ketidakadilan itu. Setelah itu, mereka tidak mau ikut dan saya sendiri tidak memperbolehkan mereka.
Mengapa tidak hadir saat putusan hakim dibacakan Kamis (1/3) lalu?
Saya sedang sakit dan kebetulan sejak awal "arah anginnya" (persidangan) saya sudah tahu. Namun, kakak saya, Suryadharma, datang. Katanya, dari pihak Citibank banyak yang hadir, padahal biasanya tidak begitu. Berarti mereka sudah siap, sudah tahu apa putusan hakim.
Dari awal, persidangan sudah tidak obyektif. Tidak obyektifnya itu bukan miring sedikit, melainkan sudah condong. Saya yang enggak mengerti hukum pun, sangat gemas melihatnya.
(Dalam kasus ini, pihak Irzen diwakili Jaksa Penuntut Umum.) Kalau saja dalam persidangan itu pengunjung yang hadir bisa interupsi, rasanya saya ingin sekali berteriak minta interupsi. Tapi saya dan kuasa hukum bisa apa? Saya cuma bisa gigit jari. (Esi tampak gemas).
Apa contoh kejadian yang ingin diinterupsi?
Begini, saat bertanya pada saksi atau terdakwa, jaksa sangat hati-hati. Pada saat pertanyaannya menurut saya wajar diajukan, kuasa hukum terdakwa langsung mengajukan keberatan dan langsung diterima oleh hakim. Setiap keberatan yang diajukan kuasa hukum terdakwa, hakim selalu menerima. Giliran jaksa yang keberatan, hakim tidak menerima. Kuasa hukum terdakwa, kok, terlihat sangat berkuasa. Seolah-olah dia yang punya sidang.
Saat kuasa hukum terdakwa bertanya pada saksi dari pihak Citibank, sudah tidak jelas mana yang pertanyaan, mana kesimpulan. Giliran dia bertanya pada saksi dari pihak jaksa, kerasnya minta ampun, membentak-bentak, hakim diam saja. Saya sampai geregetan mendengarnya. Rasanya ingin berteriak.
Memang sebelumnya apa bayangan tentang proses pengadilan?
Sebelum dimulainya persidangan kasus ini, saya selalu membayangkan ruang sidang itu anggun dan berwibawa. Ditambah lagi, pada saat saya bersaksi di persidangan, meski yang saya tahu soal kasus ini hanya sedikit, sambutan mereka sangat bagus. Seolah-olah saya ini orang penting. Itu sebabnya, awalnya saya optimis kami bisa menang. Namun, pada sidang-sidang berikutnya, ketika saksi-saksi dari pihak Citibank dihadirkan, mulai tampak kejanggalan.
Saya bingung, kok, seperti main-main? Sangat bertolak belakang dengan yang selama ini saya bayangkan. Sejak itu saya mulai pesimis. Dalam bayangan saya, seorang hakim ketua itu benar-benar menguasai sidang. Dialah pemimpinnya. Hakim juga dipanggil dengan sebutan Yang Mulia. Kalau hakim mau berpikir, sebetulnya sebutan itu luar biasa besar tanggung jawabnya, terutama terhadap Tuhan. Sebab, di dunia ini Yang Mulia adalah sebutan bagi orang yang bisa memutuskan keadilan, masa depan, dan nasib seseorang, setelah Tuhan. Ibu kita saja tidak kita panggil dengan sebutan Yang Mulia.
Anda selalu hadir di persidangan?
Hanya beberapa kali saya absen. Awalnya selalu hadir namun setelah tahu persidangan tidak obyektif, saya jadi malas. Lucunya, saat sidang, banyak saksi dari pihak Citibank yang beramai-ramai mencabut BAP. Padahal, saat di-BAP mereka, kan, didampingi pengacara. Yang aneh, hakim meminta mereka maju ke depan (meja hakim) untuk bertanya yang mana BAP masing-masing, lalu langsung memberi paraf persetujuan pencabutan.
Saat itu saya sampai bertanya kepada kuasa hukum saya, apakah boleh seperti itu. Dia bilang, seharusnya tidak boleh. Saya tidak tahu hukum, tapi saya jadi kasihan kepada para penyidik di kepolisian yang sudah bekerja keras membuat BAP siang-malam. Saya sendiri juga pernah diperiksa dan melihat mereka sampai enggak tidur, enggak sempat makan, dan tidak pulang ke rumah. Yang kemudian terjadi, para saksi seenaknya mencabut BAP, seolah tidak menghargai penyidik, terlepas dari penyidik berpihak atau tidak.
Apa lagi yang terasa aneh selama persidangan?
Saat agenda pledoi (pembelaan, Red.) terdakwa, kuasa hukumnya menuduh bahwa saya, Pak Tubagus (saksi kunci), dan Pak Mun'im Idris berbohong saat kesaksian dan mencari keuntungan dengan dipromotori Pak OC Kaligis. Sekarang, siapa yang diuntungkan? Lalu, saat digelar sidang setempat (sidang yang diadakan di tempat kejadian perkara, Red.) terlihat hakim tidak berperan sama sekali di sana.
Seharusnya, kan, hakim bertanya, ke mana saksi A, B, dan seterusnya, juga aktif bertanya soal peristiwa itu. Yang saya lihat, kuasa hukum Citibank sangat berkuasa saat sidang setempat itu. Yang terjadi, terkesan seolah-olah dia sedang memperkenalkan peresmian sebuah tempat baru. Dia hanya menunjukkan tempat-tempatnya dan hakim hanya mengiya-iyakan saja.
Selain itu?
Ketika jaksa minta saksi dari pihak Citibank memeragakan pencarian KTP yang digunakan untuk verifikasi data di sana, kuasa hukum terdakwa langsung menyudahi dan mengajak hakim beranjak dari situ. Dan hakim menurut. Kok, jaksa tidak dihargai? Yang juga membuat saya bingung, kata kuasa hukum saya seharusnya saksi kunci dihadirkan saat sidang setempat. Nyatanya, meski saksi kunci hadir, dia tidak diajukan dalam sidang setempat itu. Ketika kuasa hukum saya menanyakan hal itu kepada hakim, kuasa hukum terdakwa marah luar biasa tanpa mengindahkan etika dan mengusirnya dari ruangan. Sementara, hakim diam saja melihat hal itu. Ibarat orang Jawa, hakim hanya nggih, nggih (iya, iya) saja.
Anda marah kepada hakim?
Buat apa marah? Sudah rugi dizalimi, rugi saya akan berlipat-lipat kalau ditambah marah. Saya hanya bisa terus beristighfar dan berkata ke Tuhan, saya yakin Dia masih bersama saya menyaksikan semuanya. Semua ini membuat saya cukup tahu saja, oh ternyata ini begini, itu begitu. Kalau saja kesaksian para saksi kunci jadi pertimbangan hakim, hasilnya bukan hukuman karena perbuatan tidak menyenangkan.
Omong-omong, kenal dengan Tubagus dan Rosyid yang jadi saksi kunci kasus ini?
Ya. Mereka teman suami saya yang datang ke lokasi kejadian karena dihubungi pihak Citibank setelah suami saya "pingsan". Saat mereka datang dan mengecek denyut nadinya, suami saya sudah meninggal. Ketika dibawa turun dengan kursi roda, kakinya sudah kaku. Masak, orang pingsan, kok, kakinya kaku?
Pak Rosyid yang bersama pihak Citibank membawa suami saya ke RSAL Mintoharjo. Pak Tubagus mau bersaksi, saya berterimakasih. Tapi saya enggak tahu ke mana Pak Rosyid. Waktu saya telepon, dia bilang tidak bersedia bersaksi. Secara garis besarnya, alasannya karena anak-anaknya masih perlu makan. Entah dia diancam atau tidak oleh pihak Citibank dalam perjalanan ke RS, wallahualam.
Jadi apa yang sekarang diharapkan?
Saya harap jaksa banding dan semoga ada keadilan di situ. Bagi hakim, cobalah dikaji lagi apa tujuan orang menyebut dengan panggilan Yang Mulia, agar hakim bisa mengingat posisinya. Sebagai warga negara, saya berhak mendapat keadilan dan saya akan cari itu sampai ke mana pun!
Hasuna Daylailatu / bersambung
KOMENTAR