Awal Desember tahun silam, enam sosok mengendap-endap di sekitar gedung Kantor Pos Cipondoh, Tangerang. Di bawah instruksi ND, ibu tiga anak, mereka bergerak. Tujuan mereka menguras lemari besi berisi uang tunai sejumlah Rp 200 juta di ruangan Rachmat Santoso, Kepala Cabang Kantor Pos tersebut.
"Sekitar pukul 13.00, saya menyembunyikan NR dan AR di gudang kantor pos, sementara WD, BF, dan AS mengawasi situasi dari seberang," ujar ND saat ditemui di Polres Tangerang Kota.
Pukul 14.00, saat kegiatan di kantor usai, para pegawai beranjak pulang meninggalkan Rachmat yang masih sibuk di dalam ruangannya. Sekitar satu setengah jam kemudian, ND menerima kode tanda aman dari teman-temannya yang berjaga di luar. Ia lantas mengeluarkan AR dan NR dari persembunyian dan bersama-sama mengeroyok Rachmat. Rachmat yang sontak melawan, tersungkur setelah AR dan NR menghantam kepalanya dengan palu stempel kantor pos. Sementara kedua rekannya mengikat tangan dan kaki Rachmat yang sudah tak berdaya, ND mengumpulkan uang.
Seharusnya, kata ND, aksi perampokan ini berjalan tanpa korban jiwa. ND bahkan sudah mewanti-wanti para pengikutnya agar tak membawa senjata tajam ke lokasi. "Karena jika terjadi sesuatu sampai Pak Rachmat meninggal, hukuman buat kami pasti sangat berat," ujarnya tertunduk.
ND mengaku tak menyangka rencananya merampok berakhir dengan peristiwa pembunuhan berdarah. Tiga hari sebelum kejadian, kelompok ini bertemu di sebuah pusat perbelanjaan guna mematangkan rencana. "Kalau niatnya sudah ada sejak sebulan sebelumnya."
Usai mengantongi uang Rp 200 juta, kelima pelaku kabur ke rumah AR untuk membagi hasil rampokan. Ketika itu, ND mengaku menerima bagian Rp 62 juta. "Habis itu saya jemput anak kedua saya yang sedang latihan voli." Uang bagiannya, katanya, dipakai untuk bayar utang sekitar Rp 18 juta. "Sisanya saya jadikan modal usaha kredit tas, pakaian, dan sepatu. Sebagian lagi untuk makan sehari-hari. Sekarang sudah habis semua."
Ketika ND dan putrinya kembali ke rumah mereka yang memang berdempetan dengan Kantor Pos Cipondoh tersebut, warga sudah heboh dengan penemuan mayat Rachmat. "Saya langsung menangis karena enggak menyangka Pak Rachmat meninggal. Saya takut tertangkap," katanya. Apalagi, "Pak Rachmat baik pada saya dan keluarga. Kami dibolehkan menempati rumah dinasnya."
Perampokan itu, kata ND, dirancangnya karena terlilit utang. "Saya banyak utang di sana-sini sampai enggak tahu lagi berapa total utang saya," ujar ND yang sebetulnya diminta Rachmat untuk menjaga uang ratusan juta yang akan dipakai sebagai BOS (Bantuan Operasional Sekolah). "Sudah sering di lemari besi diisi uang ratusan juta tapi entah mengapa kali ini saya khilaf."
Beberapa tahun belakangan, lanjut ND, perekonomian keluarganya memang sangat parah. Gaji suaminya, Irwansyah, yang bekerja sebagai sopir di Kantor Pos Tangerang, habis terpotong utang. "Sebulan saya hanya terima Rp 500 ribu. Mana cukup?"
Biasanya, ND ikut membantu keuangan keluarga dengan berdagang kecil-kecilan. "Tapi jalannya kurang bagus karena ada saja yang telat bayar, kalaupun ada untung, habis begitu saja untuk biaya sehari-hari. Sejak dua tahun lalu, kami diperbolehkan tinggal di Kantor Pos Cabang Cipondoh untuk menjaga keamanan dan kebersihan."
Terdorong untuk segera keluar dari lilitan utang, ia tergoda merampok dan mengutarakan niatnya ke AS, tukang ojek langganannya. Tak dinyana, AS (43) menyambut baik rencana itu dan segera mengumpulkan teman-temannya yakni NR (42), BF (18), WD (36) dan AR yang masih buron, sehingga kemudian terjadilah peristiwa itu.
Dikejar Rasa Takut
Sejak peristiwa itu hingga ia tertangkap, ND mengaku hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Karena tinggal di dalam Kantor Pos, ND beberapa kali diperiksa polisi sebagai saksi. Selama itu pula, ND mampu mengelabui penyidik. "Padahal, ketika diperiksa sebagai saksi, mau pulang kaki ini terasa berat untuk melangkah. Seakan enggak mau meninggalkan kantor polisi."
Walau baru pertama melakukan kejahatan, skenario yang dibuat ND sempat mengecoh polisi. "Saya bikin sendiri semuanya. Mungkin saya diajari iblis," tuturnya. "Pak Rachmat orang baik, saya enggak pernah berencana untuk membunuhnya. Tiga kali dia mendatangi saya dalam mimpi, dia hanya tersenyum lalu pergi. Ini membuat hati saya semakin sedih, menyesali perbuatan saya," ujar ND yang sebelum tertangkap rajin menanyakan perkembangan kasus ini kepada pihak kepolisian.
Ketakutan ND berakhir di bulan Februari, tiga bulan setelah kejadian. Selama itu pula suaminya, Irwansyah, tak mengetahui perbuatannya. "Dia tiap hari berdoa agar kasus ini cepat terungkap. Saya takut sudah membohongi suami tapi tak berani mengaku."
Kini meski harus mendekam di tahanan, ND mengaku beban di pundaknya sedikit terangkat. Ia tak lagi harus menyembunyikan rahasia besar yang membuatnya hidup dalam kecemasan. Apalagi, pihak keluarga korban mau memaafkannya. "Saya sempat bertemu dengan istri korban dan memohon maaf. Saya merasa bersalah sekali, saya sudah membuat anak-anaknya menjadi yatim. Saya sangat menyesal dan siap menjalani hukuman yang diberikan."
Edwin Yusman F / bersambung
KOMENTAR