Aku tak tahu persis bagaimana awalnya aku mulai terkena polio yang sampai menyebabkan kedua kakiku kini tak berfungsi lagi. Tapi menurut Bapak dan Ibuku, Sudjito (67) dan Suwarsini (59), semua itu terjadi ketika usiaku memasuki 16 bulan. Padahal saat itu, kata Ibu, aku tumbuh sebagai anak bungsu dari empat bersaudara yang manis, lucu dan energik. Tapi suatu hari aku mengalami sakit panas sekitar dua hari lamanya.
Melihat panas tubuhku tak kunjung reda oleh Ibu aku dibawa ke dokter. Setelah dilakukan pemeriksaan dokter lalu memberi obat jenis puyer dan diminta untuk segera diminumkan setiba di rumah. Benar saja, setelah minum puyer itu, keesokan harinya panas badanku lenyap. Namun ternyata itu belum berakhir. Justru sejak itulah awal terjadinya aku dikatahui mengalami kelumpuhan.
Ceritanya, pagi itu aku bangun tidur kemudian oleh Ibu aku diturunkan dari tempat tidur. Semula Ibu berniat memegangi kedua tanganku untuk diajak berjalan. Tapi alangkah terkejutnya Ibu, belum sempat berdiri aku langsung terjatuh karena kedua kakiku lemas dan tak mampu lagi menyangga tubuh. Begitu menyadari ada sesuatu yang tak beres pada kakiku, Ibu langsung menangis dan saat itu pula aku segera dibawa ke dokter.
Prestasi Tinggi
Ibu dan Bapak mendadak lemas tak berdaya ketika dokter memvonis aku terkena serangan polio. Bahkan sebenarnya tak hanya kedua kaki yang melemas, duduk tegakpun aku jadi tak bisa sehingga harus bersandar atau tidur terlentang. Tentu saja Bapak dan Ibu syok berat atas apa yang aku alami.
Sejak itu berbagai dokter termasuk rumah sakit khusus orthopedi di Solo dikunjungi Bapak dan Ibu, tapi semua tak berhasil. Karena merasa buntu, Bapak sempat coba mencari kesembuhan alternatif di antaranya ke "orang pintar", tapi juga tak berhasil. Memang ada sedikit perubahan ketika aku ditangani Prof. Budi Santoso. Semula aku yang tak bisa duduk, setelah diobati beberapa kali, aku sudah bisa duduk tanpa harus bersandar lagi.
Karena tak bisa berjalan, jadi yang bisa aku lakukan hanyalah merangkak, termasuk ketika bermain dengan teman-teman sebayaku. Ketika mulai duduk di bangku sekolah dasar sebenarnya oleh dokter orthopedi aku sempat diminta mengenakan sepatu bris, sepatu penyangga terbuat dari besi yang mengapit kedua kakiku dari ujung kaki sampai pinggul.
Tetapi ada satu peristiwa yang membuatku trauma dan tak mau lagi menggenakan sepatu yang lumayan berat itu. Ketika berjalan ke sekolah, tubuhku malah jatuh terjengkang ke belakang. Karena tak mau lagi mengenakan sepatu itu, ke mana-mana aku dibopong Bapak termasuk mengantarkanku ke sekolah.
Saat mau masuk SD sebenarnya aku sempat ditolak dengan alasan pasti tak bisa melakukan aktivitas sekolah secara normal. Karena ditolak, oleh Bapak aku didaftarkan ke SD Klegen 5 Madiun. Alhamdulillah aku diterima. Kendati memiliki kekurangan secara fisik, aku tak mau menyerah begitu saja. Aku berusaha menutupi kekurangan dengan kemampuan menyerap pelajaran yang diberikan guru secara sungguh-sungguh.
Terbukti, saat kelulusan aku dinyatakan memilkiki nilai Ebtanas tertinggi di sekolah. Tamat SD, aku masuk SMPN 3 Madiun. Sebenarnya, ketika masuk SMP itu aku juga sempat ditolak, tapi Bapak bisa meyakinkan pihak sekolah, kendati fisikku tak sempurna namun secara akademis nilaiku baik dan tak ketinggalan. Itu juga aku buktikan. Selama di SMP nilai raporku selalu diatas rata-rata teman lainnya.
Ketika duduk di kelas 1 SMP, ternyata aku mulai mengalami persoalan kesehatan yang lain. Aku merasakan semakin lama, napasku semakin terasa sesak. Setelah dilakukan pemeriksan ternyata tulang belakangku bengkok sehingga menekan paru-paru. Satu-satunya jalan untuk mengobatinya harus dilakukan operasi pemasangan pen dari platina agar tulangku bisa kembali tegak. Tak ada pilihan, tindakan operasi terpaksa dipilih.
Persoalannya sebelum operasi dilakukan aku harus melalui tahap terapi yang sangat berat bagi anak seusiaku. Di RS Dr. Soetomo Surabaya selama 1,5 bulan menjelang operasi aku diterapi dengan cara tidur terlentang dan posisi kaki ditarik tali yang ujungnya diberi beban 12 kilogram, sedangkan kepalaku menggunakan alat semacam helm yang diberi beban 2 kilogram. Alat itu baru dilepas hanya pada saat jam aku makan saja. Demikian pula setelah di operasi, bagian perutku digips selama dua minggu. Pokoknya, bila ditotal aku harus istirahat pasca operasi selama 3 bulan lamanya.
Sebenarnya sebelum operasi aku sempat stres berat. Aku mengira operasi adalah akhir dari segalanya dan hidupku tak akan lama lagi. Bahkan saking lamanya menunggu waktu operasi, aku sampai minta kepada dokter, agar hari operasi dipercepat agar aku tidak stres berkepanjangan.
Menjelang operasi, aku tak pernah lepas membaca surat Al Fatihah dan istighfar. Sehingga ketika operasi selesai dilakukan dan perkembangan fisikku semakin baik, aku bersyukur tiada henti kepada Allah. Ternyata aku masih diberi umur panjang. Sementara itu karena aku cukup lama tak masuk sekolah, akhirnya aku harus mengulang pelajaran setahun kemudian.
Pasca operasi, aku mulai menggunakan kursi roda. Untuk memudahkan, satu kursi roda ditempatkan di sekolah sedangkan di rumah aku memakai kursi roda dari kayu buatan Bapak sendiri. Dan untuk ke sekolah, Bapak atau Ibu mengantarkan dengan motor.
Kebiasaan seperti ini aku lakukan hingga aku bersekolah di SMA 5 Madiun. Meski aku menghalami cacat fisik, namun teman-temanku sangat baik. Mereka tak ada yang menjaga jarak dengannku. Memang 1-2 orang teman terkadang ada yang menjauh ketika melihat fisikku. Tapi menghadapi teman yang demikian justru aku rebut hatinya dengan beragam cara, salah satunya aku berusaha makin dekati dia. Caraku itu ternyata efektif, sehingga nyaris aku dekat dengan semua teman.
Ada satu cara lagi yang aku lakukan untuk membangun pertemanan agar tetap baik, yaitu mencoba jualan aneka aksesori dan makanan. Misalnya jepit rambut, hiasan tas, es lilin, dan makanan ringan buatan Ibu, yang aku jual di jam istirahat sekolah. Sebenarnya aku jualan bukan semata-mata mencari untung, tapi agar bisa semakin akrab dengan teman-teman.
Memang benar, cara itu cukup ampuh. Bahkan setelah aku mengawali berjualan, teman-temanku yang lain juga banyak yang meniru langkahku, ikut jualan di sekolah. Sejak itu suasana kelasku jadi makin meriah, sebab di kala jam istirahat ruang kelasku berubah seperti pasar dan pembelinya datang dari teman-teman kelas lain.
Kreativitasku terus meningkat setamat SMA. Aku pun tak mau berdiam diri di rumah tanpa ada kegiatan apapun. Aku tak ingin terbelenggu keterbatasan fisikku. Meski dengan gerak tubuh serba terbatas aku ingin mengembangkan bakat yang aku punya. Setelah berpikir lama, lalu aku punya ide. Selain menerima pembuatan kerajinan seserahan aku juga mulai mencoba membuat wayang suvenir berbahan kertas karton dari limbah. Karena untuk suvenir, ukuran wayang yang kubuat kecil-kecil.
Mengapa aku memilih membuat wayang, karena belajarnya tak perlu jauh-jauh, cukup kepada Bapak. Sekitar 10 tahun lalu selepas pensiun sebagai PNS Bapak menekuni pekerjaan sebagai perajin wayang. Tapi Bapak membuat wayang berukuran lebih besar. Sementara soal membuat kerajinan atau bidang seni lainnya, sepertinya aku memiliki sedikit kelebihan.
Oh ya, ketika masih di SMP aku sempat menjadi juara, lho, di lomba pembuatan logo wajib belajar sembilan tahun tingkat provinsi Jatim. Dan untuk membuat wayang, bahannya dari barang bekas yang biasa aku temui sehari-hari. Kertas karton aku buat patron, lalu kupotong. Setelah itu kuberi warna setiap bagiannya. Wayang yang aku buat di antaranya punakawan, pandawa lima, srikandi, juga rama dan shinta.
Setelah jadi, wayang-wayang itu aku titipkan di toko-toko buku, koperasi-koperasi, dan kujual di toko yang aku buka sendiri di rumah. Alhamdulillah, ada saja pembeli yang datang. Oh ya, soal pemasaran dan pengemasan seringkali aku diberi masukan oleh para mahasiswa yang biasa mengadakan PKL di daerahku. Dari sana aku bisa saling tukar pengalaman dengan mereka.
Gandhi Wasono M / bersambung
KOMENTAR