Inilah kisah Neneng Kusmiyati (36), salah seorang korban selamat. Ibu empat anak ini sempat berusaha keras menyelamatkan gadis kecilnya yang berusia 7 tahun. Ditemani sang suami, Juli Rozali (40), Neneng menceritakan peristiwa mencekam yang merenggut nyawa putrinya itu.
Acara Maulud Nabi selalu ditunggu anak-anak warga kampung kami. Kedua anakku. Zahra (7) dan Elang (8) pun tak ketinggalan ingin mengikuti acara Maulud Nabi yang Minggu (19/2) lalu diadakan di Cibanteng Nangkring. Lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah, bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
Pagi-pagi, Zahra sudah dandan. Ia memakai baju kuning dan kerudung hitam. "Dedek cantik ya, Bu," ujar anak bungsuku dari 4 bersaudara itu. Iya, ia tampak cantik. Sekitar jam 08.00, aku dan anak-anak berangkat bersama tetangga yang juga mau ke tempat acara. Cukup banyak yang pergi, kebanyakan memang anak-anak.
Hujan yang turun rintik-rintik tak menyurutkan semangat kami. Aku membawa payung. Sampai di sana, acara berlangsung meriah. Ada acara bagi-bagi makanan untuk anak-anak. Sekitar satu jam kemudian, acara selesai. Nah, saat itu, kami mendengar ada acara serupa yang diselenggarakan di kampus IPB Dramaga. Aku dan para tetangga naik angkot, hanya beberapa menit kemudian sudah sampai.
Ternyata, informasi itu tidak benar. Kampus IPB sepi-sepi saja. Kami pun memutuskan pulang melewati jalan alternatif. Yaitu menyeberangi Sungai Cihideung dengan jembatan bambu. Oh ya, jembatan ini dibangun swadaya oleh warga.
Sebelumnya, aku sempat heran, Zahra seakan menjauh dariku. Di acara Maulud, ia tidak mau kudekati. Dia lebih suka bersama teman-teman sebayanya. Namun ketika mulai menuruni jalan menuju sungai, ia mau kugandeng. Bahkan, ia sempat berpesan padaku, "Bu, sampaikan pada Bapak agar Bapak minta maaf pada Dedek. Soalnya, tadi Bapak memarahi Dedek." Ah, aku tidak begitu paham maksudnya. Mungkin ia baru saja dimarahi ayahnya karena nakal.
Air di Sungai Cihideung cukup deras, naik sekitar 1 meter dari biasanya. Semalam memang hujan deras. Meski begitu, aku tidak merasa cemas. Maklum, aku dan warga setempat memang sering menyeberang melalui jembatan bambu tersebut. Kala itu, ada sekitar 23 orang bersama-sama lewat jembatan. Sambil tangan kiri berpegangan pada bambu, tangan kananku menggandeng Zahra.
Aku sempat melihat, Elang jalan di depan bersama kawan-kawannya. Hanya beberapa langkah lagi, ia sampai ke seberang. Ketika aku sampai di tengah-tengah, tiba-tiba saja jembatan ambruk. Aku seperti ditumpahkan ke dalam air deras. Tanpa ampun, tubuhku terempas ke dalam sungai.
Air yang begitu deras segera menghanyutkan kami. Aku terus berusaha untuk tetap memegang tangan mungil Zahra. Sekuat tenaga aku berusaha agar ia tak lepas dari genggamanku. Aku nyaris tidak tahu persis apa yang kemudian terjadi. Yang kurasakan hanya tubuhku terbawa arus. Aku tenggelam. Enggak tahu lagi, berapa banyak air sungai yang masuk dalam perutku.
Sesekali tubuhku membentur batu kali yang memang cukup banyak. Aku tak menghiraukan rasa sakit. Sampai akhirnya, arus membawaku ke pinggir. Tubuhku tertahan batu besar. Asal-asalan aku mencoba berpegangan pada bambu. Sungguh, tubuhku sudah begitu lemas tapi kurasakan tangan Zahra masih kupegangi. Aku berusaha agar ia tak lepas. Aku berusaha menyelamatkannya. Namun kesadaranku memudar dan aku tak ingat lagi. Ia pun lepas dari genggamku.
Antara sadar dan tidak, aku melihat ada tiga warga menolongku. Tubuhku ditemukan sekitar 500 meter dari jembatan. Mereka segera membawaku ke posko yang ada di kampungku dan memberi perawatan. Setelah sadar, aku tahu Elang selamat. Belakangan kuketahui, saat Elang ditolong warga, posisinya tak jauh dariku. Aku sempat lega. Namun, bagaimana nasib Zahra?
Suasana kampungku jadi begitu panik. Hari itu aku mendengar kabar, dari 23 warga yang melintas jembatan, 8 orang dinyatakan hilang terbawa arus, termasuk Zahra. Pada hari pertama kejadian, semula suamiku berusaha ikut mencari namun dilarang para tetangga. Mereka takut, malah terjadi apa-apa dengan suami karena kondisinya syok.
Tinggallah aku dan suami menunggu kabar berita pencarian korban. Aku sempat berharap Zahra bisa ditemukan. Apalagi, tim SAR dan para relawan siang-malam terus menyusuri sungai untuk mencari korban.
Benar juga, saat aku masih dalam perawatan, kudengar kabar bahagia. Tim penolong berhasil menemukan tiga orang yang masih hidup. Salah satunya bernama Zahra. Aku sempat lega. Untuk memastikan kebenarannya, suamiku segera mengecek. Oh, ternyata bukan. Kembali, aku lemas.
Hari berganti, tiap hari ada jasad korban berhasil ditemukan. Namun. Zahra masih juga belum ada kabar. Sampai akhirnya, Kamis (23/2), kudengar berita, Zahra sudah berhasil ditemukan di sebuah sungai di kawasan Tangerang. Aku lega, meski Zahra ditemukan sudah meninggal. Total, delapan warga tewas, 7 di antaranya anak-anak. Jasad mereka dimakamkan berdampingan di pemakaman setempat.
Ah, Zahra... Begitu banyak kenangan pada anak bungsuku ini. Tiap malam ia tidur tak mau jauh dariku. Hanya sehari sebelum kejadian saja, ia tampak tak mau kudekati. Ia memilih tidur dekat kakaknya di malam itu, seolah ingin pamitan. Hatiku hancur bila ingat kata-kata terakhir soal permintaan agar ayahnya minta maaf.
Aku juga masih teringat jelas, beberapa hari sebelumnya, ia tak pernah lupa mengabsen nama teman-teman sekelasnya. Di bukunya, ia menulis namaku dan suami. Anakku yang kelas 1 SD itu juga sempat mengungkapkan cita-citanya menjadi guru. Zahra yang rajin membaca memang begitu mengidolakan guru-gurunya.
Betapa pun beratnya, aku sudah merelakan kepergiannya. Selamat jalan, Dek. Maafkan, Ibu tak berhasil menolongmu...
Henry Ismono / bersambung
KOMENTAR