Aula Kelurahan Cipinang Muara RT 13/RW 01 itu terlihat penuh. Enam orang ibu-ibu menyimak dengan tekun pelajaran membaca yang diberikan Risma (20), relawan dan mahasiswi Fakultas Ilmu Pendidikan Uiversitas Negeri Jakarta (UNJ), Jurusan Pendidikan Luar Sekolah. Sudah dua bulan ini Risma menjadi relawan YAPPIKA (Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia) karena ingin mempraktikkan ilmunya ke dunia nyata. Yayasan ini memang bermisi mengentaskan jumlah ibu-ibu yang buta huruf.
"Ayo, Ibu, bagaimana membacanya? Belajar dan diulang di rumah, tidak?" tanya Risma. Dengan kompaknya, mereka pun menjawab, "Belajaaar!" Begitulah, meski usia mereka rata-rata sudah di atas 50 tahun, semangatnya tetap menyala. "Saya tidak malu belajar, meski sudah tua. Banyak, kan, yang malu belajar karena takut diketawain," tutur Nung (45).
Meski punya dua anak, Nung mengaku tidak belajar didampingi anaknya. "Habis mereka repot belajar, saya enggak mau ganggu. Sekarang saya sudah bisa tanda tangan meski belum lancar baca," tandas Nung yang murah senyum ini.
Ini juga dirasakan Sum (53) yang termasuk murid terpandai di kelas Risma. Nenek 3 cucu ini mengaku semangat belajar karena takut dikomentari sang cucu. "Kalau saya tidak bisa baca, mereka pasti tanya. Kok, Uti enggak bisa baca, sih?" tutur Sum sambil tertawa. Kini, Sum sudah bisa membaca tanpa dieja lagi.
Risma yang mengajar dua kali seminggu ini mengaku senang dan bangga saat melihat para ibu berhasil membaca dan menulis sendiri. "Saat ada ibu yang tidak begitu lancar baca, saya tetap memberi senyum manis. Tapi bahagia banget ketika mereka diberi pekerjaan rumah, nilainya bagus," ujar Risma yang mendapat upah transportasi Rp 50 ribu sekali mengajar dari YAPPIKA. Jika Risma berhalangan hadir, Yuli, kader PKK setempat menggantikannya. "Kalau dihitung-hitung sebenarnya ada 12 orang ibu yang buta aksara di sini, tapi yang aktif cuma setengahnya."
Menurut Sisca Afriani (25), ada 14 relawan yang dinaungi YAPPIKA yang berdiri sejak 1991 ini. Baru tahun 2010 mengajar para wanita buta aksara dengan gerakan "Ayo Bantu 5,3 juta Ibu Indonesia Belajar Membaca" (www.yappika.or.id).
Sasaran pertama, daerah Jakarta Utara sebanyak 6 ribu ibu buta aksara. "Mereka belajar seminggu dua kali selama 6 bulan, dibimbing relawan dan kader setempat. Modulnya hampir sama dengan yang diberikan Pemerintah."
Setelah itu, bisa dilanjutkan ke tingkat lebih tinggi selama 4 bulan. "Belajarnya lebih ke substansi pelayanan publik, seperti memberikan gambar-gambar pelayanan publik. Jadi ketika mereka berurusan dengan pelayanan masyarakat, lebih tahu dan paham dalam pelaksanaannya."
Syarat menjadi relawan sangat gampang. "Selain mau meluangkan waktu mengajar, juga harus ada komitmen. Mereka tinggal datang ke kantor YAPPIKA di Jalan Pedati Raya, Jakarta Timur. Atau kami membuka stan dan membagikan brosur. Nanti ada yang mengatur ke mana saja relawan mengajar," kata Sisca sambil menyebut sudah ada 3 tempat mengajar di Jakarta, yaitu Cipinang, Cakung, dan Sukapura.
Sampai saat ini, wanita buta aksara paling banyak di Jakarta Utara, Jakarta Timur, lalu Tangerang. "Kebanyakan ibu-ibu karena zaman dulu, kan, lelaki selalu didahulukan sekolah, sementara perempuannya belakangan. Selain tentu saja adanya faktor kemiskinan."
Rencananya, YAPPIKA akan menyediakan relawan di daerah. "Jadi, wanita buta aksara di daerah tak perlu khawatir lagi karena kami berencana menyediakan relawan," cerita Sisca yang mengaku relawan YAPPIKA kebanyakan mahasiswa UNJ. "Karena sesuai mata kuliah mereka. Meskipun kami juga menerima dari lembaga lain."
Nove
KOMENTAR