Selasa (14/2) lalu adalah hari keempat Lily Tifa (52) dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Namun suasana rumah di Jl. Teratai VI, Larangan Indah, Tangerang, Banten masih menyisakan duka. Beberapa karangan bunga dari kantor Arsip Nasional, tempat Lily dan suaminya Mustari Irawan bekerja masih berjajar rapi di depan rumah. Meja kursi tamu masih tertata di teras, sementara karpet dan tikar digelar di dalam rumah.
"Baru semalam terakhir baca Yasin," kata Mustari membuka percakapan. "Sepertinya saya belum yakin beliau sudah tak bersama kami lagi," kata ayah satu anak ini.
Lily adalah salah satu korban kecelakaan Bus Karunia Bakti, Jumat (10/2) malam. "Dia bersama enam temannya ke Puncak untuk keperluan rapat Dharma Wanita. Kemungkinan mereka mampir makan bakso. Tiba-tiba ada bus yang nyelonong," kata Mustari
Masih jelas di ingatan Mustari, Jumat pagi istrinya berangkat ke kantor sendirian. "Soalnya siang saya harus menjemput anak dulu di sekolah dan membawa ke RS." Muhammad Fachrianda, anak semata wayangnya habis menjalani operasi di kaki. "Dan hari itu jahitan harus dilepas," tandas Mustari. Selepas mengantarkan anaknya, Deputi Bidang Konservasi ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) ini baru menuju kantor.
Ketika sampai di kantor, pria asal Jawa Barat ini menduga istrinya sudah berangkat ke Puncak untuk rapat kerja. "Ternyata dia masih rapat Dharma Wanita di kantor." Lily dan enam temannya baru berangkat ke Puncak sekitar pukul 15.00 WIB. "Waktu itu di sekitar kantor hujan lebat. Saya lalu pesan kalau di tol harap hati-hati karena licin dan macet."
Tak ada firasat jelek saat Mustari terakhir bicara dengan istri yang dinikahi 20 tahun lalu itu. "Seperti biasa, saya pulang kantor dan sampai rumah jam setengah tujuh. Sempat tidur sebentar dan terbangun karena istri saya menelepon." Anehnya, ketika diangkat tak ada suara. Bahkan ketika ditelepon balik pun, tak ada jawaban dari istrinya. "Saya menduga, mungkin kepencet."
Ketika sedang menyiapkan makan malam untuk anak semata wayangnya, tiba-tiba Mustari ditelepon anak buahnya yang mengabarkan istrinya di UGD karena kecelakaan beruntun. "Saya menduga kecelakaan di tol. Saya sempat memantau teve tapi belum ada beritanya." Tak lama kemudian, baru ia mendapat kepastian. "Atasan saya telepon, katanya istri saya sudah tidak ada."
Antara bingung dan sedih mendengar kabar mendadak itu, "Saya lalu mengajak Fachri menegok ibunya yang kecelakaan. Baru sampai tol, dapat kabar dari anak buah saya, jalur ke Puncak tak bisa dilewati. Akhirnya saya diminta menunggu saja di Cibubur. Saat menunggu itu saya baru melihat di teve, istri saya masuk daftar korban yang meninggal."
Saat jenazah tiba di rumah, Mustari melihat beberapa luka di jasad istrinya. "Yang paling parah di dada dan kepala bagian belakang," jelas Mustari sambil menggambarkan, saat makan bakso itu istrinya duduk di dekat tembok. "Setelah menabrak mobil, bus oleng dan mengarah ke istri saya. Dia satu-satunya korban yang meninggal dari rombongan itu."
Mustari kini menyesali kepergian istrinya untuk rapat kerja di Puncak itu. "Kok, malah begini jadinya," tandas Mustari yang saat melihat kecelakaan di Tugu Tani beberapa waktu lalu sempat bilang ke istrinya. "Duh, kasihan banget, ya, keluarga korban yang ditinggal. Ternyata saya sekarang mengalami sendiri," kata sastrawan ini sendu.
Kepergian Lily menjadi pukulan berat bagi Mustari. "Dia itu bukan hanya seorang istri, tapi juga teman diskusi, saudara, dan adik," jelas Mustari yang menikahi istrinya tahun 1992. "Baru tiga minggu menikah, saya dapat beasiswa ke Filipina. Karena masih pengantin baru, tiap semester saya pulang ke Indonesia."
Tapi kepulangan Mustari itu belum membawa 'hasil'. Lily tak kunjung hamil. Untuk itu, di akhir studi Mustari minta istrinya menyusul ke Filipina. "Saya minta bantuan mengerjakan tugas-tugas kampus yang memang banyak sekali. Begitu saya lulus, saya ajak dia ke Baguio, semacam Puncak gitu."
Di tempat dingin itulah, tiba-tiba istrinya muntah-muntah. "Ternyata saat diperiksa, alhamdulillah dia positif hamil. Padahal kalau belum hamil, rencana kami akan periksa di Yogyakarta. Kebetulan adik istri saya, kan, dokter di sana," tambah Mustari yang sebenarnya sudah merasakan firasat sebelum istrinya meninggal.
Beberapa waktu lalu, kata Mustari, istrinya mengeluh sudah capek. "Ia ingin cuti besar dan segera pensiun. Saya malah menyarankan, kenapa tidak pensiun dini saja. Tapi dia bilang, kalau pensiun dini, uang pensiun tidak besar. Saya sih, menyerahkan sepenuhnya ke dia."
Baru sekarang Mustari bisa mengartikan. "Mungkin dia sudah capek dan ingin pensiun dari kehidupan di dunia ini," jelas Mustari yang merasa lega karena seminggu sebelum kejadian ia sudah memenuhi permintaan istrinya. "Dia minta laptop. Katanya laptop dari kantornya sudah lemot. Baru Sabtu lalu saya belikan di Ratu Plaza. Dia kelihatan senang."
Belakangan ini, kata Mustari lagi, istrinya mendadak pendiam. Padahal, wanita asal Sumbar ini terkenal 'ramai' jika sudah ngumpul bersama teman-teman kantor atau arisan di rumahnya. "Bahkan saat rapat terakhir pun, kata teman-temannya, istri saya banyak diam. Itu yang saya rasakan," jelas Mustari dengan suara lirih.
Keluarga Mustari kini masih berduka. Apalagi Fachri, anak satu-satunya, kini masih duduk di SMA. "Dia pernah cerita ke saya. Kok, Fachri belum punya teman wanita, ya? Rupanya dia pengin punya teman mengobrol perempuan. Maklum di rumah ini, kan, dia wanita satu-satunya," tambah Mustari.
Taman mungil di depan rumah juga kehilangan perawatnya. "Istri saya itu hobinya bertanam. Lihat saja, meski lahannya kecil, tapi rumah kami kelihatan hijau. Tiap minggu dia mindahin pot, jadi tamannya tidak membosankan."
Sukrisna, Edwin / bersambung
KOMENTAR