Saya tak menyangka, pada akhirnya dititipi Tuhan sebuah bisnis tas dan sepatu sekarang ini. Bayangkan saja, pendidikan saya dulu hanya SPG, itupun tak lulus. Baru mau naik ke kelas 2 terpaksa harus putus sekolah, gara-gara orangtua tak punya biaya. Maklum, orangtua saya petani biasa, punya empat anak. Saya satu-satunya perempuan. Lalu saya memilih menikah dengan NurhadiI pada tahun 1988. Setahun kemudian kami memiliki satu anak perempuan, Irma Purwaningsih (22).
Untuk menyangga ekonomi rumah tangga, saya membuat kue apem yang saya saya jual sendiri ke Pasar Gamping, yang berjarak beberapa kilometer dari rumah saya di tepian Sungai Progo. Selepas Subuh saya bersepeda ke pasar. Hanya sekitar 2 jam, kue apem itu pun ludes.
Siang harinya saya pergi ke pabrik penggilingan padi membeli beberapa karung beras untuk dijual lagi ke pasar. Setelah beras terjual, pulangnya saya mulai kulakan sayur untuk dijual di rumah. Begitulah rutinitas hidup saya setiap hari di sekitar tahun 1992.
Lalu, suatu kali di tahun 1993, suami mengajak saya bekerja di sebuah proyek pembuatan jalan di Malangbong, Garut (Jabar). Saat itu suami memang pekerja bangunan. Bersama teman-temannya ia mendapat pekerjaan dari PT Angkasa Puri, mengerjakan proyek jalan raya di kawasan Garut (Jabar). Berhubung harus kerja selama berbulan-bulan, mereka butuh orang yang bisa memasak dan mencucikan baju serta mengurus rumah tempat tinggal para pekerja proyek itu. Karena itu suami mengajak saya ikut ke proyek untuk membantu urusan rumah tangga mereka.
Semua urusan rumah tangga saya kerjakan dengan senang hati tanpa memasang tarif. Saya menyerahkan soal gaji kepada bos saja. Saya kerja berdasarkan keikhlasan. Dan ternyata, upah yang saya terima justru melebihi perkiraan saya. Misalnya saja, ketika itu saya mengira akan digaji Rp 70 ribu per bulan, eh ternyata digaji Rp 300 ribu.
Tahun 1995 ada lagi proyek pembuatan jalan. Kali ini suami mengajak saya ke Solok, Padang, Sumatra Barat. Sayangnya, proyek ini tak berjalan mulus dan akhirnya bubar di tengah jalan. PT yang mengerjakannya pun tutup. Kami pun kembali ke Jogja. Untungnya suami segera mendapat pekerjaan lain di proyek pembuatan Jembatan Krasak. Lagi-lagi saya ikut bantu-bantu di proyek itu.
Nah, sembari kerja di proyek, suatu kali ada seorang suplier asal Sentolo menawari saya kerja sambilan. Saya diminta belajar merajut tas dari bahan benang nilon atau benang kasur. Dalam tempo satu minggu ternyata saya bisa merajut dan akhirnya bergabung dengan sisuplier yang menyetorkan daganganke PT Rumindo Pratama di Jogja.
Untuk pekerjaan merajut ini gajinya pakai sistem upah. Karena itu saya berusaha rajin dan disiplin. Kalau diminta setor pagi, ya, pagi-pagi benar saya sudah membawa hasil pekerjaan ke Desa Sentolo naik sepeda onthel. Bahkan kadang-kadnag si supliernya belum bangun tidur, saya sudah berada di rumahnya menunggunya bangun pagi. Rata-rata per minggu saya menerima upah Rp 2.500 per tas. Terkadang saya bisa merajut 5 buah tas.
Rupanya juragan saya melihat kedisiplinan dan kerja keras saya. Saya pun mendapat kepercayaan lebih tinggi daripada sekadar jadi buruh merajut. Yakni mengambil benang hingga menyetor barang ke PT Rumindo Utama. Karena perajin yang bergabung ddengan juragan saya semakin banyak, maka semakin banyak pula benang yang saya ambil ke Rumindo. Kadang sampai 2,5 ton benang. Bahkan bila seluruh mobil bak bukaan terisi penuh benang, saya rela nyelip saja di pojok mobil. Ha ha ha...
Begitulah, saya kerja pada orang lain, tetapi tidak mau pakai hitung-hitunganan. Totalitas sajalah istilahnya. Sayang disayang, suplier asal Sentolo ini suatu ketika bermasalah dengan PT Rumindo, soal pembayaran. Sampai-sampai juragan saya kesulitan membayar para perajin binaan yang setor dagangan kepadanya. Saya turut merasakan kesulitan itu. Saya rela tak digaji dulu, yang penting ibu-ibu perajin saja yang gajian dulu. Saya sedih bukan kepalang memikirkan semua itu, sampai sakit dan harus opname di RS Bethesda.
KOMENTAR