Tanpa saya duga, semua biaya RS selama sepekan dibiayai PT Rumindo. Malah beberapa staf juga menengok saya. Mungkin mereka merasa selama ini saya telah bekerja secara tak langsung untuk PT Rumindo. Nah, setelah dianggap sembuh dan pulang ke rumah, tiga hari kemudian saya ditawari pekerjaan oleh PT Rumindo, tetapi terpaksa saya tolak. Saya merasa tak enak hati pada mantan juragan saya, bila menerima tawaran kerja di PT Rumindo.
Dari seringnya saya ke PT Rumindo mengambil benang, lalu ada suplier lain yang mengetahui kondisi saya. Ia kemudian datang kepada saya menawari pekerjaan di rumahnya di kawasan Desa Ngestiharjo, Bantul. Tawaran itu pun saya terima. Di luar perkiraan, saya diberi pekerjaan yang tak jauh berbeda dengan pekerjaan sebelumnya. Saya mengurusi urusan perusahaan milik juragan baru itu, mulai dari A sampai Z.
Di Bantul, juragan saya adalah pembuat aneka kerajinan, dari tas hingga alas piring untuk meja makan. Anehnya, ketika ada tamu, saya juga yang menemui. Juga soal urusan order ke berbagai tempat. Hanya masalah menerima uang saja yang tidak mau saya urusi. Lagi-lagi, usaha juragan baru ini pun bermasalah.
Gaji karyawan tak terbayar sampai saya harus menggadaikan gelang emas buat nombok menggaji 20 karyawan. Saya lakukan itu atas inisiatif sendiri dan penuh keikhlasan. Juga tak berharap banyak akan mendapat ganti. Saya cuma berpikir, bagaimana andai saya yang berada di posisi para karyawan itu? Padahal saya sendiri sudah enam bulan belum digaji.
Nah, suatu siang saya diajak makan soto oleh bos/juragan saya. Kemudian ia curhat dan bilang, sudah tidak tahan lagi pada kondisi perusahaan. Ia lalu meminta saya mendirikan usaha sendiri. Bahkan ia berani "bersumpah" buila dalam tempo dua tahun tak ada kontainer datang ke rumah saya, "Kamu datangi saya. Jitak kepala saya," tegasnya. Kalimat itu seperti menjadi sebuah penyadaran bagi saya. Lalu saya balik bertanya apakah ia ikhlas? "Saya sudah tidak kuat," jawabnya. Saya masih ingat sekali, itu terjadi di akhir Februari 1999.
Jadi Juragan
Dengan mengucap 'Bismillah', tanggal 1 Maret 1999 saya berusaha mandiri. Bermodalkan uang Rp 250 ribu dari suami, saya lalu membeli eceng gondok kering ke Pantai Glagah. Di sana saya bertemu juragan eceng gondok metah. Saya naik sepeda sendirian ke sana. Lalu pulangnya, saya ajak anak-anak muda di desa untuk menganyam eceng gondok itu.
Tiap tiga hari sekali saya setor ke perajin tas di Kota Jogja yang butuh barang seperti yang saya punya. Terkadang saya harus bersepeda ke perajin yang ada di Jalan Kaliurang Perputaran uang pun berlangsung dengan cepat. Hingga pada bulan Juni, mantan bos saya yang di Bantul, datang melihat perkembangan usaha saya. Tampaknya ia gembira melihat hasil usaha saya.
Ia pun ingat bahwa masih punya hutang gadai gelang emas milik saya. Akhirnya ia bersedia mengembalikan uang Rp 1,5 juta kepada saya. Karena pada saat itu saya tak punya handphone (HP), saya lalu minta dibelikan HP saja. Ketika itu, HP masih tergolong barang langka dan mahal. Dengan HP baru, saya jadi bisa berkomunikasi lancar dengan para perajin di Jogja. Order baru pun bisa dikomunikasikan dengan lebih cepat, bahkan mengalami penambahan dari waktu ke waktu.
Yang menyedihkan, ketika usaha saya masih gurem, pernah menerima order tas dan sandal dari Jakarta sebesar Rp 30 juta, sayangnya saya tidak bisa memenuhi pesanan gara-gara tak punya modal sebanyak itu. Saat itu tidak terepikir untuk pinjam ke bank karena saya tak punya apa-apa untuk agunan.
Akhirnya saya hanya mengambil order sebanyak Rp 12 juta saja. Sisanya saya minta teman yang mengerjakan. Akan tetapi dari bisnis kecil-kecilan itu akhirnya saya bisa membeli sepeda motor seharga Rp 4 juta lebih. Pada perkembangannya, sepeda motor itu lalu saya jual untuk menambah modal berbisnis sandal. Soalnya pelanggan saya meminta saya membuat sandal dengan aksesoris dari bahan alami.
Karena tak memiliki pengalaman membuat sandal, akhirnya saya dan suami kerja keras belajar. Bagaimana pun caranya, order harus diwujudkan dan dipenuhi. Ternyata, saya bisa membuat sandal hanya dengan bantuan satu pekerja saja.
Rini Sulistyati / bersambung
KOMENTAR