Kisah manis pernikahan Wagiyati atau Yati (50) dan Parimin (50) tahun 1995 silam, berakhir sudah setelah beberapa waktu silam Yati menggugat cerai. Gugatan sudah dikabulkan Pengadilan Agama Cikarang namun Parimin naik banding di Pengadilan Tinggi Agama Bandung. "Alasannya, kami nikah siri. Padahal pernikahan kami tercatat resmi di KUA Ciracas," ujar Yati sambil menunjukkan surat dan buku nikah. "Saya dituduh mau menguasai hartanya. Yang lebih menyakitkan, saya terusir dari rumah yang saya tempati sejak awal pernikahan kami," papar Yati yang saat wawancara didampingi penasihat hukumnya, Marloncius Sihaloho, SH.
Manisnya perkawinan seakan tak berbekas di hati Parimin alias Pak Min. "Waktu ketemu dia, saya janda empat anak. Suami pertama meninggal karena kecelakaan tahun 1983. Anak yang bungsu baru berumur setahun." Sejak itu, Yati semakin keras bekerja di salon miliknya yang dibangun saat sang suami masih ada.
Usaha salon di Jalan Teratai Putih, Perumnas Klender, Jakarta Timur itu cukup maju. Pelanggannya lumayan banyak dan Pak Min adalah salah satunya. Singkat kata, mereka menjalin kasih dan menikah setelah dua tahun pacaran. "Saya baru tahu dia punya istri setelah kami menjalin hubungan. Sebenarnya, saya enggak mau dinikahi namun karena sudah telanjur hamil, saya mau dinikahi asalkan anak saya punya status jelas. Kami nikah resmi, kok. Saya menyimpan buku nikahnya. Dia juga berjanji hanya punya dua istri dan tidak akan nikah lagi."
Seusai menikah, Yati tetap tinggal di rumahnya di Klender dan secara rutin Pak Min mengunjunginya. "Dia senang ketika anak pertama kami, Elfi, lahir. Kebetulan, pas kami nikah usahanya berjalan lancar. Pak Min membeli tanah di Mangunjaya, Tambun, dan membangun rumah tingkat di sana. Ketika Elfi berusia 8 bulan (sekarang 15 tahun, Red.), saya diminta pindah ke sana. Empat anak dari suami pertama, diasuh orangtua saya dan pembantu," kata Yati seraya menjelaskan sang suami membuka usaha sate.
Pak Min yang sudah punya tiga cabang warung sate kambing, membuka warung lagi di rumah baru itu. "Urusan warung lalu diserahkan ke pegawai," tutur Yati yang dua tahun kemudian melahirkan Agung (13). "Anehnya, sejak Agung lahir, sikap dia berubah. Saya, kan, secara berkala masih menengok anak-anak dari suami pertama di Klender sekalian mengurus salon. Ketika saya pulang, dia marah-marah. Bahkan menuduh saya selingkuh. Sakit sekali ketika dia menyebut saya jadi perempuan panggilan."
Masih kata Yati, "Dia juga sering melakukan kekerasan. Saya sudah kenyang ditempeleng dan dipukuli. Bahkan pernah dicambuk dengan pecut sapi yang dibelinya di acara Sekaten, Solo. Semua gara-gara dia cemburu buta," tutur perempuan asal Sragen, Jawa Tengah itu.
Meski disakiti dan tak pernah mendapat nafkah, Yati mengaku mencoba bersabar. Bahkan rela menutup salonnya di Klender sebagai modal membuka warung sate di Jalan Setia Darma, Tambun. Warung ini dikelola anaknya dari suami pertama. Keuntungan dari hasil usaha inilah yang digunakan untuk membiayai kebutuhan anak-anaknya.
Seiring dengan waktu, tutur Yati, Pak Min mulai jarang menjenguk Yati dan dua anaknya. "Ia hanya datang sebentar mengurusi warung lalu pergi lagi. Dia tidak lagi memberi kebutuhan lahir dan batin. Yang paling menyakitkan, tahun 2006 saya mendengar kabar dari pegawai, dia menikah lagi secara siri," katanya.
Merasa ditipu, Yati pun berniat minta cerai. "Dengan enteng dia bilang, kalau mau pisah, ya, pisah saja karena kami nikah siri. Padahal, kami menikah resmi," ungkap Yati yang kemudian mengajukan gugat cerai. Ketika proses cerai berjalan, "Dia menutup warung sate bahkan mengangkut semua barang-barang di rumah. Tempat tidur anaknya pun tega dibawa hingga kami terpaksa tidur di lantai. AC rumah juga dicopoti. Selain itu, dia tak mau lagi membayar listrik. Pernah sampai ada tunggakan sekitar Rp 2 juta. Pernah juga suatu saat sepulang bepergian, saya lihat rumah gelap gulita. Ternyata semua lampu rumah dicopoti!"
Puncaknya, lanjut Yati, ketika pekan silam ada orang datang ke rumahnya dan mengaku sudah membeli rumah ini dari Parimin dan istri pertamanya. "Katanya rumah ini dibeli Rp 1,1 milyar. Saya masih coba bertahan tinggal di sini. Ini, kan, rumah yang sudah saya tempati sejak lama. Proses cerai saya dengan suami juga masih menunggu banding, kenapa Parimin tega menjual rumah ini tanpa sepengetahuan saya?"
Akhirnya ia tak sanggup bertahan lagi ketika kemudian ada tiga pria tak dikenal datang dan menyeretnya ke luar. Pagar rumah pun digembok. "Saya terpaksa membuka gembok dengan gergaji. Eh, malah dilapori Pak Min ke polisi. Katanya saya merusak properti." Karena laporan dianggap lemah, polisi tak memprosesnya. "Saya rasa, sih, orang-orang itu suruhan Parimin. Saya enggak mau macam-macam, kok, cuma menuntut keadilan. Saya juga enggak menuntut harta gono-gini. Saya cuma mau menempati rumah saya, itu pun untuk kepentingan dua anak saya, darah daging Parimin."
Andaikan tak disepakati, "Saya ingin dia membuat surat pernyataan yang isinya tidak pernah menikah dengan saya, dan Elfi dan Agung bukanlah anaknya. Anehnya, belakangan dia bilang hanya mau membiayai anak-anak jika bersedia tinggal bersamanya. Jelas, anak-anak tidak mau. Kata Elfi, masak iya ada seorang ayah yang ingin memisahkan anak dari ibunya. Si bungsu minta saya sabar. Ini cara Allah untuk menaikkan derajat keluarga kami," kata Yati yang kini tinggal di warung makan miliknya.
Henry, Laili / bersambung
KOMENTAR