Abah Muchsin (60) tak sekadar bicara. Sejak 1994 ia sudah mengelola lembaga pendidikan gratis bagi anak-anak dari para pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi Bangunsari Surabaya. Tak hanya bagi anak PSK, anak yatim dan kurang mampu ia berikan pendidikan gratis. Abah Muchsin pun harus rela melepas pekerjaannya sebagai pedagang besi tua, demi mengurus anak-anak kurang beruntung ini.
Bagaimana awalnya bisa mengelola sekolah ini?
Yayasan Sabilas Salamah ini berdiri sejak 1967. Awalnya yayasan ini dikelola oleh Mbah Mustar. Namun kemudian Mbah Mustar meninggal dunia. Yayasan ini tak ada yang meneruskan. Saat itu lokasinya masih di Jalan Dupak Bangunsari No. 77 Surabaya.
Karena tidak ada yang meneruskan, sedangkan masyarakat membutuhkan orang yang bersedia mengelola Madrasah Ibtidaiyah (MI) Sabilas Salamah, akhirnya saya ditunjuk warga untuk meneruskan yayasan ini.
Apa reaksi Abah pada saat itu?
Sebelum mengelola yayasan ini saya sebenarnya sudah punya pekerjaan. Kebetulan saya termasuk orang terpandang di kampung ini. Orangtua saya kaya, bahkan saat itu juga saya sudah termasuk kaya karena sudah punya enam mobil.
Awalnya, saya tidak mau mengelola yayasan itu. Tapi karena melihat kondisi Bangunsari yang memprihatinkan, saya mulai berpikir. Hingga suatu ketika, saat saya akan berangkat kerja, ada seorang pria berkelahi sampai mati karena rebutan PSK. Saya lalu merenung. Sampai kapan akan begini? Setiap hari ada perkelahian, ada minuman keras, perjudian yang marak dari utara sampai selatan kampung. Sedangkan di sisi lain, banyak anak-anak terlantar. Akhirnya saya tersentuh dan mau menerima tawaran itu.
Saya merasa iba melihat nasib anak-anak itu, kemudian saya jadi kepala sekolahnya. Hanya saja sejak awal saya sudah berniat dalam hati, yang sekolah di sini harus anak-anak dari orangtua yang tidak mampu, anak PSK, dan anak yatim piatu. Kalau ada anak di luar itu, saya tidak terima.
Ternyata, mengelola sekolah ini tidak mudah. Cobaan pertama datang, tanah yang digunakan yayasan ternyata dijual pemiliknya. Akhirnya sekolah saya pindahkan di rumah pribadi saya yang sebenarnya sudah saya kontrak-kontrakkan di Dupak Bangunrejo 46.
Ketika itu jumlah muridnya hanya 49 orang. Sejak itulah saya bersikeras SD Sabilas Salamah ini harus bisa meningkatkan martabat anak-anak dan orangtuanya. Artinya, bagaimana anak-anak ini bisa sekolah dan belajar sehingga nasibnya bisa sama dengan anak-anak yang lain.
Setelah "terusir", lalu apa yang terjadi?
Nah, saya melihat anak-anak sudah kadung senang sekolah di sini, jadi pekerjaan utama saya sebagai penjual besi tua mulai ditinggalkan. Sebaliknya, saya juga sudah terlanjur cinta pada anak-anak. Saya ingin fokus mengurus mereka. Kemudian saya korbankan rumah kontrakan untuk dijadikan sekolah.
Tak hanya itu, kios di pasar loak yang selama ini jadi sumber nafkah keluarga, saya jual juga. Uangnya untuk membiayai operasional sekolah ini. Bahkan saat itu, meski muridnya cuma 49 orang, tenaga gurunya sudah ada 14 orang. Sehingga gurunya banyak yang menganggur.
Bagaimana tanggapan keluarga saat itu?
Setiap hari saya menangis memikirkan yayasan. Saat mulai fokus mengurus yayasan ini saya dibenci oleh tetangga. Bahkan orangtua saya pun sampai mengultimatum, jangan pernah mengunjungi keluarga kalau masih mengelola sekolah. Tak hanya itu, istri pun minta cerai, anak dan mertua juga tidak setuju. Tapi saya bersikeras.
Lantas apa yang terjadi?
Karena terlanjur dibenci orang banyak, sekalian saja semua perhiasan istri saya ambil, lalu dijual. Kalau tidak salah saat itu laku sekitar Rp 3,7 juta. Uang ini saya pakai ke Jakarta untuk mencari donatur. Ketika itu, gaji guru dan biaya operasional sekolah hanya mengandalkan kotak infaq. Dari mana saya bisa menggaji guru kalau hanya mengandalkan kotak infaq?
Saya pun berangkat ke Jakarta naik kereta api sambil membawa peralatan tulis. Di dalam kereta, selama perjalanan menuju Jakarta saya tak bisa tidur. Yang ada hanya air mata saja mengalir deras di pipi, sambil menulis proposal minta sumbangan yang ditujukan kepada Pak Habibie. Ketika itu Pak Habibie masih jadi Menristek.
Sesampainya di Jakarta apakah berhasil menemui Habibie?
Jujur, itu sebenarnya pertama kali saya ke Jakarta, lho. Nekat, saya cari rumah Pak Habibie. Setelah ketemu rumahnya, saat mau masuk terhalang birokrasi. Untung saya tidak digebuki oleh si penjaga. Akhirnya saya menyerah. Ya, sudah kalau tak bisa ketemu, tidak apa-apa. Saya akhirnya pergi dari rumah itu.
Gagal menemui Habibie, apa yang kemudian dilakukan?
Esok harinya saya mencari rumah Pak Tri Sutrisno. Pada saat ia menjabat sebagai wakil presiden. Saat mau masuk rumahnya, lagi-lagi saya terhalang birokrasi. Boro-boro mau memasukkan proposal, diajak bicara saja tidak bisa. Penjaga rumah Pak Tri Sutrisno saat itu bisanya hanya marah-marah kepada saya.
Gagal menemui Tri Sutrisno, keesokan harinya saya mencari rumahnya Rhoma Irama. Berangkat jam satu dini hari, baru ketemu rumahnya pukul 09.00 pagi. Nah, kebetulan waktu itu saya bisa bertemu langsung dengan Rhoma Irama. Tapi pada saat bertemu, Rhoma bilang ke saya, "Sampeyan kalau minta permohonan atau sumbangan, proposal saya di sana juga menumpuk. Jadi maaf saya tidak bisa membantu." Saya jawab, "Ya, sudah, tidak apa-apa." Wong bisa ketemu saja sudah senang.
Akhirnya saya pulang dengan tangan kosong. Di perjalanan pulang, saya lihat Rhoma mengendarai Jeep-nya. Iseng, mobilnya saya buntuti. Sayang, saya kehilangan jejak. Ya, sudah saya lalu salat Jumat di masjid di kawasan Tebet, Jakarta. Ndilalah, saat Jumatan itu, kok, kersaning Allah, yang duduk di sebelah saya Rhoma Irama!
Selesai Jumatan, saya buntuti lagi dia. Lalu saya bilang lagi ke dia, "Bang Rhoma, ini mungkin sudah jodoh, saya minta sumbangan Anda meskipun sedikit. Akhirnya Rhoma meminjam uang kepada orang yang mendampinginya, bernama Dedi Irama. Lalu saya diberi uang Rp 75 ribu. Meski tak seberapa, ya, alhamdulillah bisa jadi tambahan saya beli makan selama di Jakarta.
Amir Tejo / bersambung
KOMENTAR