NASI OPOR SUNGGINGAN Langganan Tiga Generasi
Bila sedang berkunjung ke Kudus, jangan lupa cicipi nasi opor. Yakni nasi berkuah sayur tahu agak pedas dengan kuah putih berasa gurih, yang di dalamnya terdapat potongan-potongan daging ayam panggang. Ada beberapa rumah makan yang menyediakan hidangan khas Kudus nasi opor ayam panggang.
Nasi opor di Jalan Nitisemito atau lebih populer dengan sebutan Kampung Sunggingan, terlihat banyak didatangi pembeli sejak buka di pagi hari, pukul 06.30 hingga tutup pada pukul 14.00. "Ini warung rintisan mertua saya, Ibu H. Ngadilah yang jualan sejak 1966. Saya cuma meneruskan bersama suami pada tahun 2001, setelah ibu mertua meninggal," terang Hj. Siti Sundari (47).
Warung Nasi Opor Sunggingan, lanjut Siti, awalnya dibuka ibu mertuanya untuk melayani para buruh pabrik rokok di Kudus. Lama-lama masyarakat sekitar pun ikut mencicipi, dan dinilai pas di lidah orang Kudus. "Yang semula cuma buruh pabrik roko, lama-lama masyarakat umum ikut-ikutan makan di sini. Warung ini sejak awal cuma buka pagi hari, untuk sarapan saja. Tapi sejak saya pegang, saya buka sampai usai jam makan siang," terangnya.
Opor Kudus memang lain dari opor lainnya, seperti yang ada di Jogja atau Solo. "Kuahnya ada dua macam. Kuah santan areh bening warnanya putih, dan santan kental kekuningan dengan potongan tahu. Daging ayamnya dipanggang. Cara menghidangkannya bukan disuwir tapi dipotong-potong pakai gunting. Sendok untuk menyantap nasi opornya sejak tahun 60-an sampai sekarang tetap pakai daun pisang. Biar ada kesan segar," jelas ibu tiga anak ini.
Setiap pembeli yang memesan opor di warungnya akan ditanya, mau porsi dobel atau singel. "Kalau dobel, nasinya banyak. Kalau singel, nasinya sedikit. Khasnya orang Kudus, porsinya kecil. Lihat saja, Soto Kudus, kan, mangkoknya kecil, toh?" tukas Siti yang menjual per porsi kecil nasi opor Rp 7.500.
Puluhan tahun menjual nasi opor, membuat Siti banyak didatangi para pelanggan. Mulai dari perorangan hingga perusahaan rokok terbesar di Kudus. Siti juga menyebut sejumlah atlet bulutangkis tingkat dunia yang dinaungi pabrik rokok tadi sebagai pelanggan setianya. "Mulai dari Susi Susantai, Haryanto Arbi, Liem Swi King, sampai atlet yang belum terkenal pun jajannya ke mari. Mereka yang sudah pernah jadi pebulutangkis tingkat dunia dan sekarang sudah jadi pelatih, kalau ada acara di perusahaan, ya, reunian makan nasi opor di sini. Pokoknya ini warung makan tiga generasi. Mulai dari masih perawan sampai punya cucu, jajannya ke mari bersama anak cucunya. Sebulan sekali saya juga pasti diundang perusahaan rokok itu ke gelanggang olag raganya bawa nasi opor. Atletnya disuruh makan gratis."
Sejumlah artis Ibukota juga disebut Siti sebagai pelanggannya. "Menteri dan pejabat yang datang untuk urusan perusahaan, kadang juga ke sini mencicipi nasi opor," lanjutnya. Begitu disukanya nasi opor Siti, per hari ia bisa menyembelih 20 ekor ayam kampung. "Saya bilang ayam kampung karena orang Kudus tak mau makan ayam potong. Kalau ada yang jual nasi opor ayam potong, pasti tak laku.Mau soto atau garang asem, semua pakai ayam kampung," terang nenek tiga cucu yang sekarang juga menjual garang asem.
Dari menjual nasi opor, hasilnya bisa untuk membeli warung yang kini ditempati. "Dulu warung ini kami sewa. Tapi oleh pemiliknya dijual ke kami. Dari jualan nasi ini saya bisa menyekolahkan anak, beli rumah, naik haji, dan menggaji karyawan. Pokoknya, kami bersyukur lah dengan semua ini."
Garang asem adalah lauk berbungkus daun pisang. Berisi potongan-potongan daging ayam kampung, tomat hijau, belimbing wuluh, serta cabai. Rasanya campuran antara gurih, asam, dan pedas. Rasanya amat segar karena ada kuah bening bercampur rempah-rempah yang kuat. Di dalamnya juga terdapat irisan daun bawang, bawang putih, bawah merah, daun salam, lengkuas, dan lainnya.
Jualan garang asem dirintis Hj. Sriyati, menantu Hj. Sumiah, pemilik Rumah Makan Sari Rasa, Jl. Agil Kusumadya. Awalnya, 40 tahun lalu, rumah makan itu menjual menu-menu khas Kudus seperti nasi tahu dan nasi opor. Tetapi kemudian ketika usaha itu pengelolaannya diteruskan Sriyati, ditambahkan satu menu lagi, yakni garang asem.
Tak disangka, lambat laun RM Sari Rasa makin banyak didatangi pembeli yang ingin merasakan gurih pedasnya garang asam yang dijual dalam kondisi masih panas lantaran baru saja turun dari kukusan atau garangan.
Terhitung sejak lima tahun lalu, tak kenal panas maupun hujan, siang atau malam, RM Sari Rasa terus dipenuhi pembeli. Terutama di jam santap siang. Halaman parkirnya dipenuhi mobil-mobil yang datang secara berombongan. Masyarakat yang hendak ke arah Surabaya atau sebaliknya, tak jarang mampir ke rumah makan ini.
Sebungkus garang asem dijual seharga Rp 17.500. Pembeli bisa memilih isi yang berbeda. Ada daging ayam, ceker, atau jeroan.
Berani Bumbu
Selanjutnya, RM Sari Rasa dikelola Hj. Yully (34), anak sulung Sriyati. "Sebenarnya garang asem bukan lauk asli Kudus. Asalnya dari Purwodadi. Mereka memang menyebutnya garang untuk makanan yang dikukus. Sedangkan asem berasal dari rasanya yang memang masam dari tomat hijau. Tapi karena garang asem populer sekali di Kudus, sekarang menjadi semacam hidangan khas Kudus," terang Yulli.
Porsi garang asem versi Sari Rasa memang terlihat lebih besar bila dibandingkan garang asem di daerah lain seperti di Ngawi atau Madiun, Jogja, dan Solo. "Terlihat besar karena bungkus daun pisangnya saja yang berlapis-lapis. Karena kalau tidak berlapis, kuahnya bisa tumpah. Yang bikin segar, karena kuahnya banyak. Ayamnya, sih, beberapa potong saja."
Per hari, kata Yulli, permintaan garang asem bisa mencapai 1000-an bungkus. Karena itu, per hari ia membutuhkan sekitar 300-an ayam kampung berumur sekitar 4 bulan. Plus tomat hijau 150 kilo. Yulli menambahkan, ia membeli ayam kampung dalam kondisi masih hidup lalu dipotong dengan mesin pemotong ayam di dapur Sari Rasa.
Setelah dibersihkan, langsung diolah menjadi garang asem yang fresh dari garangan. "Benar-benar fresh. Semua bahan baku mentah dibumbui, lalu dimasukkan ke dalam lembaran daun. Setelah itu diberi kuah berbumbu rempah, dibungkus lalu dikukus. Bumbunya harus berani karena harus bisa melawan air yang keluar dari tomat dan ayam. Jadi bukan ayam yang sudah matang baru dibungkus lalu dikukus," papar ibu tiga anak itu.
Ratusan pembeli yang datang ke warungnya, kata Yulli, rata-rata minta isi daging ayam. Sementara yang isi ceker atau jeroan berimbang banyaknya. "Hidangan khas Kudus seperti nasi tahu dan nasi opor masih dipertahankan, karena masih ada peminatnya," imbuhnya.
Ibu muda yang masih berkuliah di jurusan ekonomi UNNES itu mengaku, hanya menutup rumah makannya bila keluarganya ada acara penting saja. "Dari Senin sampai Minggu buka. Mulai jam 7.00 pagi sampai jam 21.00. Lebaran kami juga tutup selama dua minggu. Karyawan, kan, perlu libur juga. Risikonya orang Kudus, yang pada mudik tidak bisa mencicipi garang asem kami. Tapi mau bagaimana lagi. Karyawan perlu istirahat."
Kendati ada rencanya mengembangkan dan memperluas rumah makan, namun Yulli mengaku masih kesulitan mencari tambahan karyawan. "Rencananya rumah makan ini mau ditingkatkan karena sekarang tanahnya sudah jadi milik kami. Sebelumnya, cuma sewa," tutup Yully yang mengawali tugas di Sari Rasa sebagai pelayan, sebelum akhirnya "naik jabatan" menjadi pengelola.
Rini Sulistyati / bersambung
KOMENTAR