Garang asem adalah lauk berbungkus daun pisang. Berisi potongan-potongan daging ayam kampung, tomat hijau, belimbing wuluh, serta cabai. Rasanya campuran antara gurih, asam, dan pedas. Rasanya amat segar karena ada kuah bening bercampur rempah-rempah yang kuat. Di dalamnya juga terdapat irisan daun bawang, bawang putih, bawah merah, daun salam, lengkuas, dan lainnya.
Jualan garang asem dirintis Hj. Sriyati, menantu Hj. Sumiah, pemilik Rumah Makan Sari Rasa, Jl. Agil Kusumadya. Awalnya, 40 tahun lalu, rumah makan itu menjual menu-menu khas Kudus seperti nasi tahu dan nasi opor. Tetapi kemudian ketika usaha itu pengelolaannya diteruskan Sriyati, ditambahkan satu menu lagi, yakni garang asem.
Tak disangka, lambat laun RM Sari Rasa makin banyak didatangi pembeli yang ingin merasakan gurih pedasnya garang asam yang dijual dalam kondisi masih panas lantaran baru saja turun dari kukusan atau garangan.
Terhitung sejak lima tahun lalu, tak kenal panas maupun hujan, siang atau malam, RM Sari Rasa terus dipenuhi pembeli. Terutama di jam santap siang. Halaman parkirnya dipenuhi mobil-mobil yang datang secara berombongan. Masyarakat yang hendak ke arah Surabaya atau sebaliknya, tak jarang mampir ke rumah makan ini.
Sebungkus garang asem dijual seharga Rp 17.500. Pembeli bisa memilih isi yang berbeda. Ada daging ayam, ceker, atau jeroan.
Berani Bumbu
Selanjutnya, RM Sari Rasa dikelola Hj. Yully (34), anak sulung Sriyati. "Sebenarnya garang asem bukan lauk asli Kudus. Asalnya dari Purwodadi. Mereka memang menyebutnya garang untuk makanan yang dikukus. Sedangkan asem berasal dari rasanya yang memang masam dari tomat hijau. Tapi karena garang asem populer sekali di Kudus, sekarang menjadi semacam hidangan khas Kudus," terang Yulli.
Porsi garang asem versi Sari Rasa memang terlihat lebih besar bila dibandingkan garang asem di daerah lain seperti di Ngawi atau Madiun, Jogja, dan Solo. "Terlihat besar karena bungkus daun pisangnya saja yang berlapis-lapis. Karena kalau tidak berlapis, kuahnya bisa tumpah. Yang bikin segar, karena kuahnya banyak. Ayamnya, sih, beberapa potong saja."
Per hari, kata Yulli, permintaan garang asem bisa mencapai 1000-an bungkus. Karena itu, per hari ia membutuhkan sekitar 300-an ayam kampung berumur sekitar 4 bulan. Plus tomat hijau 150 kilo. Yulli menambahkan, ia membeli ayam kampung dalam kondisi masih hidup lalu dipotong dengan mesin pemotong ayam di dapur Sari Rasa.
Setelah dibersihkan, langsung diolah menjadi garang asem yang fresh dari garangan. "Benar-benar fresh. Semua bahan baku mentah dibumbui, lalu dimasukkan ke dalam lembaran daun. Setelah itu diberi kuah berbumbu rempah, dibungkus lalu dikukus. Bumbunya harus berani karena harus bisa melawan air yang keluar dari tomat dan ayam. Jadi bukan ayam yang sudah matang baru dibungkus lalu dikukus," papar ibu tiga anak itu.
Ratusan pembeli yang datang ke warungnya, kata Yulli, rata-rata minta isi daging ayam. Sementara yang isi ceker atau jeroan berimbang banyaknya. "Hidangan khas Kudus seperti nasi tahu dan nasi opor masih dipertahankan, karena masih ada peminatnya," imbuhnya.
Ibu muda yang masih berkuliah di jurusan ekonomi UNNES itu mengaku, hanya menutup rumah makannya bila keluarganya ada acara penting saja. "Dari Senin sampai Minggu buka. Mulai jam 7.00 pagi sampai jam 21.00. Lebaran kami juga tutup selama dua minggu. Karyawan, kan, perlu libur juga. Risikonya orang Kudus, yang pada mudik tidak bisa mencicipi garang asem kami. Tapi mau bagaimana lagi. Karyawan perlu istirahat."
Kendati ada rencanya mengembangkan dan memperluas rumah makan, namun Yulli mengaku masih kesulitan mencari tambahan karyawan. "Rencananya rumah makan ini mau ditingkatkan karena sekarang tanahnya sudah jadi milik kami. Sebelumnya, cuma sewa," tutup Yully yang mengawali tugas di Sari Rasa sebagai pelayan, sebelum akhirnya "naik jabatan" menjadi pengelola.
Rini Sulistyati / bersambung
KOMENTAR