Kalau saja aku tidak melarikan diri pada tanggal 3 Januari silam, pasti kisah hidupku tidak seperti sekarang. Umurku memang baru 12 tahun, tapi perjalanan hidupku sudah berliku. Bisa dibilang, sepanjang umurku ini aku jarang merasakan kasih sayang orangtua. Bapak kandungku sudah meninggal ketika aku baru belajar berjalan. Aku anak kedua, entah dari berapa bersaudara.
Aku tidak ingat, karena ibuku sudah tujuh kali menikah. Yang jelas, aku punya dua kakak tiri. Salah satunya sudah meninggal, sementara yang satu lagi kabur dari rumah karena tidak tahan dengan perlakuan ayah tiriku. Kini kakakku ini sudah menikah. Aku sendiri semula tinggal bersama ibu, ayah tiri, dan dua adik. Namun, aku tidak tahan juga karena sering dipukuli ayah tiriku. Alasannya, aku tidak mau momong adik-adikku.
Padahal, aku sendiri yang waktu itu masih kelas 6 SD di Tangerang, punya banyak PR dari sekolah. Karena sering dipukuli, aku sering kabur ke rumah kakak tiriku. Itu pun kalau istrinya sedang tidak ada di rumah, karena istrinya galak kepadaku. Karena kasihan melihat keadaanku, kakak tiriku lalu mengantarkanku ke sebuah panti asuhan, masih di Tangerang juga. Aku tak ingat namanya, yang jelas pemiliknya seorang ustaz.
Selain bermain, di sana aku membantu menyapu, mengepel, memasak, belanja ke pasar dengan motor dan sebagainya. Pendek kata, aku merasa senang dengan lingkungan baruku. Sampai suatu hari, datang seorang ibu ke panti asuhan itu. Kepada ustaz pemilik panti asuhan, dia mengatakan ingin mengangkatku sebagai anaknya. Dia juga mengatakan akan merawat, menyekolahkan, dan mendidikku layaknya anak sendiri.
Tahu akan disekolahkan, hatiku senang. Aku pun menurut, lalu dibawa Bu S ke rumahnya di daerah Tangerang. Seminggu pertama, semuanya berjalan baik-baik saja. Setelah itu, mulailah aku disuruh mengerjakan ini-itu layaknya seorang pembantu di rumahnya. Karena Bu S galak, aku tak berani membantah. Belakangan, setelah tiga bulan tinggal di sana, aku mulai dipukuli Bu S. Penyebabnya sepele, hanya karena menurutnya aku mengepel atau mengelap sesuatu kurang bersih.
Baik Saat Sakit
Kalau sudah marah, Bu S memukul tanpa memedulikan tangisan kesakitanku. Biasanya ia akan menendang, memukul, membenturkan kepalaku ke tembok sampai kepalaku benjol-benjol. Gelas dan piring dipukulkan ke kepalaku adalah hal biasa. Malah, pernah pula bibirku disiram minyak panas. Sampai sekarang, bekasnya masih ada di pinggir bibirku.
Di saat naik pitam, Bu S pun kerap mengancam agar aku tak sekali-kali melawannya dengan alasan ia adalah seorang dokter. Aku sendiri tak tahu persis ia seorang dokter atau bukan. Namun, saat ikut mengantarnya bekerja, aku pernah melihatnya masuk rumah sakit tempatnya bekerja dengan mengenakan seragam serba hijau dan sebuah topi kecil di kepalanya. Sebetulnya, suami Bu S tahu aku sering dipukuli, tapi tak berdaya di depan istrinya yang galak itu.
Tak jarang mereka akhirnya bertengkar karena suaminya membelaku. Suami Bu S juga terkadang mengingatkan bahwa aku adalah anak yatim, jangan dipukuli. Suami Bu S, aku tak tahu siapa namanya, sebetulnya merasa kasihan padaku. Ia bilang, kalau istrinya memerintah sesuatu, aku disuruh menurut saja. Kalau dipukul, aku dimintanya tidak melawan, melainkan terus-menerus menyebut nama Tuhan. Katanya, biar Allah yang membalas.
Bu S sendiri seakan tidak menggubris larangan suaminya. Ia juga tak pernah minta maaf kepadaku atas semua perilakunya, kecuali bila kondisinya sedang drop. Bu S ini punya penyakit menahun, entah apa namanya. Yang jelas ia tidak bisa terkena debu, tidur di kasur, dan sejenisnya. Mirip asma lah. Kalau sedang drop, ia harus pakai selang oksigen. Tak ada yang membantunya kecuali aku. Kalau sudah begitu, barulah ia minta maaf atas perilakunya padaku selama itu.
Oh ya, Bu S juga sering mengajak teman-temannya berkumpul. Biasanya, aku lalu disuruh menyanyi lagu dangdut milik Ayu Ting Ting di depan mereka. Setelah itu, teman-temannya memberiku uang. Totalnya sejumlah Rp 250 ribu, yang lalu dibelikan anting-anting. Anting itu dipasang ke telingaku dengan cara yang tak lazim, diulir-ulir sehingga sulit dibuka. Kata Bu S, kalau mau dicopot, telingaku harus diiris lebih dulu. Tentu saja sakit telingaku.
KOMENTAR