Bu S sendiri tidak pernah menggajiku. Aku hanya diberinya uang Rp 5000 per minggu untuk jajan. Uang itu kugunakan untuk membeli mi instan untuk makan siang. Sebab, aku hanya diberi makan pada pagi dan malam hari. Bila kedua majikanku makan ayam, aku hanya diberi sedikit saja. Bila kebetulan bersantap di rumah makan padang, aku hanya diberi tempe, sementara Bu S makan daging.
Pernah, aku menagih janji Bu S untuk menyekolahkanku. Namun, ia menjawab aku tak perlu sekolah dulu. Pernah terlintas dalam pikiranku untuk kabur dari rumah Bu S. Namun rumah selalu ia kunci bila ia dan suaminya pergi. Pernah memang, aku naik ke lantai atas rumahnya untuk kabur. Namun tetangga sebelah yang mengetahui aksiku itu memintaku membatalkan rencanaku itu agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Akhirnya aku turun lagi.
Asal tahu saja, ia menghitung seluruh benda miliknya, termasuk kunci yang jumlahnya sembilan buah di rumahnya. Pernah aku mengambil satu untuk melarikan diri, tapi ketahuan olehnya. Sungguh, aku sudah tak tahan lagi! Puncak dari semua penganiayaan yang dilakukan Bu S terjadi pada 3 Januari silam. Dalam perjalanan menuju rumah sakit tempat Bu S bekerja, aku kembali dianiaya olehnya lantaran ia kesal.
Ia yang waktu itu ada di kursi depan, pindah ke belakang lalu memukuliku dengan kemoceng tak henti-henti. Suaminya kembali mengingatkan, tapi Bu S tak peduli meski aku sudah menangis. Sampai di rumah sakit, Bu S masuk gedung. Aku disuruh menjaga mobil, padahal saat itu suaminya sedang bersamaku. Pada suami Bu S, aku pamit untuk kabur. Mungkin karena kasihan, suami Bu S mengizinkan, tapi menyuruhku pamit ke istrinya.
Tak mau pamit pada Bu S, aku langsung pergi begitu saja. Sejak siang itu, aku pergi berjalan kaki tak tahu mau ke mana. Aku hanya mengikuti rel kereta yang ada di dekat rumah sakit. Dengan kepala pusing karena baru saja dipukuli, aku terus berjalan sampai akhirnya tubuhku terasa lemas. Padahal aku tak bawa uang dan belum makan. Antara sadar dan tidak, aku berhenti di gerobak gado-gado. Saat itu, waktu sudah sore. Di situ aku duduk termenung.
Mungkin karena kasihan padaku, penjual gado-gado menawariku makan. Awalnya aku menolak, namun akhirnya aku terima juga setelah beberapa kali dibujuk. Lagipula, aku sendiri memang sudah sangat lapar. Tak lama penjual gado-gado bertanya asal muasalku. Ia lalu bercerita pada pegawai sebuah perusahaan konveksi yang letaknya hanya beberapa meter dari situ. Sejak itu, aku diajak ke tempat konveksi itu.
Enggan Pulang
Di tempat konveksi, ada banyak pegawai. Semuanya ramah dan baik padaku. Aku diberi makan, uang jajan, dan luka-lukaku dirawat sampai akhirnya berangsur hilang. Selain dikompres, aku juga dipijat oleh mereka. Aku merasa betah tinggal di sana. Selama 11 hari aku tinggal di sana, kurasakan tempat itu amat menyenangkan. Meski tak ada anak-anak sebayaku, perlakuan mereka kepadaku sungguh penuh kasih sayang. Itu sebabnya, aku sangat ingin kembali lagi ke sana setelah semua masalah ini selesai.
Aku ingin tinggal bersama Bu Epa dan Pak Ndang, suami istri yang sudah merawatku dengan sangat baik. Ada juga Bu Entin dan lain-lain yang tak kalah baik. Aku tak mau lagi kembali ke rumah ibuku. Aku trauma, takut kembali dianiaya ayah tiriku.
Oh ya, kisah penganiayaan yang kualami ini akhirnya dilaporkan Pak Ndang ke sebuah stasiun radio berita pada tanggal 13 Januari silam. Oleh stasiun radio itu, aku dilaporkan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Hari itu juga, aku dijemput KPAI dan dibawa ke rumah aman, tempatku berada sampai saat ini. Di rumah aman ini, aku cukup senang.
Selain bisa bermain, aku juga punya "adik-adik" yang bisa kuurus. Aku mengantarkan mereka sekolah, lho. Aku juga menyapu, mengepel, memasak, bahkan menulis. Orang bilang, aku mandiri. Lebam dan luka-luka akibat penganiayaan Bu S oun kini mulai hilang, tinggal bekasnya saja. Jujur, aku dendam padanya karena terus-menerus memukuli aku. Untungnya kasus yang kualami ini sudah dilaporkan KPAI ke kantor polisi, sehari setelah aku dijemput dari tempat konveksi.
Aku berharap, Bu S segera diproses dan masalah ini segera selesai, supaya aku bisa segera tinggal bersama Bu Epa. Selain itu, aku juga ingin meneruskan lagi sekolahku yang belum tamat. Entah dari mana uang sekolahku nanti, karena aku tak punya orang yang bisa membiayai pendidikanku. Doakan saja kelak aku bisa menggapai cita-citaku menjadi wartawan. Semoga saja!
Hasuna Daylailatu / bersambung
KOMENTAR