Memang, dokter menjelaskan, setelah operasi pengangkatan itu bagian dalam payudaraku akan disempurnakan dengan melakukan penambalan dengan mengambil sebagian daging dari punggungku. Apapun itu, kupikir hanya untuk memperbaiki bentuk saja, tetapi intinya aku sudah tak sempurna dan utuh lagi.
Sambil terus berurai air mata, aku dan Ibuku minta kepada dokter, apakah ada cara lain selain operasi pengangkatan payudara, mengingat waktu pernikahan sudah dekat. Sayangnya, dokter dengan tegas mengatakan, satu-satunya cara, ya, hanya lewat pengangkatan.
Kendati sudah divonis demikian, batin ini tetap saja tak bisa menerima. Sepanjang perjalanan pulang dari RS aku terus berpikir, dokter pasti sudah salah mendiagnosa. dan untuk menjawab keraguan itu aku pun mencari second opinion dengan memeriksakan diri ke dokter ahli kanker lain di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.
Setelah dilakukan pemeriksaan di RSCM, ucapan dokternya ternyata sama persis dengan apa yang telag diucapkan dr. Iskandar. Benjolan yang bersarang di payudaraku adalah kanker dan harus segera dioperasi. Bahkan, dokter senior yang di Jakarta ini memberi nasihat yang menurutku cukup 'keras' terutama bagi pasien yang tengah terguncang batinnya seperti diriku.
Sarannya adalah aku diminta segera menyampaikan persoalan ini ke Mas Miming, agar ia bisa segera mengambil sikap sebelum hari pernikahan dilaksanakan. "Dulu saya pernah punya pasien, begitu suaminya tahu istrinya terkena kanker payudara, langsung dicerai. Makanya saran saya, segera sampaikan ke calon suamimu," begitu ucapan dokter yang membuat hatiku makin pilu.
Karena tak ada cara lain, keputusan untuk operasi mau tak mau harus kulakukan meski terasa amat berat. Dan yang lebih berat lagi, bagaimana caranya aku menyampikan kabar buruk ini ke Mas Miming? Maukah ia dan keluarganya menerimaku dengan ikhlas? Dalam hal ini memang aku berusaha berempati, artinya andaikata aku di posisi Mas Miming, tentu juga tak mudah menerima kenyataan ini. Karena itu dalam hati aku berusaha ikhlas dan pasrah andai Mas Miming harus meninggalkan diriku.
Apalagi oleh dokter juga dijelaskan, bagi penderita kanker seperti diriku, paling tidak harus ada jeda sekitar 5 tahun lamanya untuk menunda kehamilan. Jika tidak, dikhawatirkan kehamilan menjadi pemicu untuk semakin mengaktifkan sel-sel kanker.
Syukurlah, di hadapan Harry Subagyo (64) dan Endang Sri Hartati (58), bapak dan ibu Mas Miming yang memanggil kami secara khusus sebelum operasi dilakukan, tak berubah sikap. Bahkan calon suamiku yang sudah dua tahun menjalin asmara denganku pun justru mendukung operasi yang akan kujalani. Yang membuatku semakin lega, tak hanya Mas Miming, seluruh keluarganya pun memberikan support.
Gandhi Wasono M / bersambung
KOMENTAR