Awal Juni 2008 merupakan momen yang tak terlupakan dalam sejarah hidupku. Ya, ketika itu aku tertimpa musibah yang akhirnya mengubah kehidupanku. Dokter yang aku datangi memvonis aku telah menderita kanker payudara, dan payudaraku harus segera diangkat!
Semua itu berawal dari sebuah keganjilan yang aku rasakan. Saat aku tengah mandi, ketika tanganku menjelajah seluruh bagian tubuhku, aku merasakan sesuatu yang ganjil di bagian payudaraku sebelah kanan. Bagian itu ketika diraba terasa ada benjolan dan nyeri saat kutekan.
Saat itu juga di benakku langsung terlintas, jangan-jangan ini kanker yang tumbuh di payudaraku. Namun perasaan itu segera kutepis. Rasanya tak mungkin di usiaku yang baru 27 tahun sudah terkena kanker payudara. Memang, beberapa tahun sebelumnya pernah terdapat kista di kedua bagian terpentingku itu, tetapi oleh dokter dinyatakan tidak berbahaya dan kelak kista akan hilang dengan sendirinya.
Tetapi, aku tak mau diam saja. Setelah ke luar dari kamar mandi, aku langsung menyampaikan keganjilan itu kepada Ibu. Kesesokan harinya, Ibu mengantarkan aku periksa ke dokter di RS Onkologi Surabaya. Menurut Ibu, Nenek pun dulu terkena kanker payudara, dan jangan-jangan itu akan menurun ke aku. Tapi lagi-lagi, perasaan itu kutepis jauh-jauh.
Setelah dilakukan pemeriksaan, dr. Iskandar Ali memintaku datang kembali keesokan harinya untuk dilakukan biopsi, sebuah tindakan pengambilan cairan pada bejolan dengan jarum suntik. Tindakan ini untuk mengetahui, apakah benar benjolan itu kanker atau bukan.
Saat dibiopsi, wah sakitnya jangan ditanya. Aku pun merintih ketika jarum suntik mulai menembus kulit persis pada benjolan itu. Bisa dibayangkan, ditekan saja sudah sakit, apalagi disuntik untuk disedot cairannya. Namun aku berusaha kuat demi mendapat kepastian tentang penyakitku.
Selanjutnya, beberapa saat kemudian aku dipanggil dokter untuk memasuki ruangannya lagi. Tapi kali ini aku melihat wajah dokter terlihat tidak happy dan agak murung. Dari roman wajahnya aku menduga, pasti ada sesuatu yang tidak baik dalam tubuhky...
Ternyata dugaanku benar, dengan berat hati dr. Iskandar menyatakan, benjolan yang ada di bagian paling berhargaku adalah kanker yang sudah masuk stadium 2B. Dokter lalu menyarankan untuk segera dilakukan operasi pengangkatan payudara sebelum sel kanker makin meluas. Mendengar ucapan dokter, dunia terasa mau runtuh.
Dengan berurai air mata, rasa antara percaya dan tidak, berkecamuk dalam dadaku. Yang membuat hati ini terasa makin pedih, saat itu bertepatan dengan akan dilangsungkannya pernikahanku dengan Mas Miftakhul Arifin (Miming), yang akan digelar sekitar 6 bulan lagi dari hari itu.
Sementara itu, payudara bagi seorang wanita ibarat mahkota. Bagaimana jadinya bila diangkat? Itu artinya aku akan menjadi wanita yang tak utuh lagi. Aku lalu berpikir, maukah Mas Miming dan keluarganya menerimaku? Jika tidak, bagaimana? Seribu pertanyaan berkecamuk di kepalaku.
Memang, dokter menjelaskan, setelah operasi pengangkatan itu bagian dalam payudaraku akan disempurnakan dengan melakukan penambalan dengan mengambil sebagian daging dari punggungku. Apapun itu, kupikir hanya untuk memperbaiki bentuk saja, tetapi intinya aku sudah tak sempurna dan utuh lagi.
Sambil terus berurai air mata, aku dan Ibuku minta kepada dokter, apakah ada cara lain selain operasi pengangkatan payudara, mengingat waktu pernikahan sudah dekat. Sayangnya, dokter dengan tegas mengatakan, satu-satunya cara, ya, hanya lewat pengangkatan.
Kendati sudah divonis demikian, batin ini tetap saja tak bisa menerima. Sepanjang perjalanan pulang dari RS aku terus berpikir, dokter pasti sudah salah mendiagnosa. dan untuk menjawab keraguan itu aku pun mencari second opinion dengan memeriksakan diri ke dokter ahli kanker lain di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.
Setelah dilakukan pemeriksaan di RSCM, ucapan dokternya ternyata sama persis dengan apa yang telag diucapkan dr. Iskandar. Benjolan yang bersarang di payudaraku adalah kanker dan harus segera dioperasi. Bahkan, dokter senior yang di Jakarta ini memberi nasihat yang menurutku cukup 'keras' terutama bagi pasien yang tengah terguncang batinnya seperti diriku.
Sarannya adalah aku diminta segera menyampaikan persoalan ini ke Mas Miming, agar ia bisa segera mengambil sikap sebelum hari pernikahan dilaksanakan. "Dulu saya pernah punya pasien, begitu suaminya tahu istrinya terkena kanker payudara, langsung dicerai. Makanya saran saya, segera sampaikan ke calon suamimu," begitu ucapan dokter yang membuat hatiku makin pilu.
Karena tak ada cara lain, keputusan untuk operasi mau tak mau harus kulakukan meski terasa amat berat. Dan yang lebih berat lagi, bagaimana caranya aku menyampikan kabar buruk ini ke Mas Miming? Maukah ia dan keluarganya menerimaku dengan ikhlas? Dalam hal ini memang aku berusaha berempati, artinya andaikata aku di posisi Mas Miming, tentu juga tak mudah menerima kenyataan ini. Karena itu dalam hati aku berusaha ikhlas dan pasrah andai Mas Miming harus meninggalkan diriku.
Apalagi oleh dokter juga dijelaskan, bagi penderita kanker seperti diriku, paling tidak harus ada jeda sekitar 5 tahun lamanya untuk menunda kehamilan. Jika tidak, dikhawatirkan kehamilan menjadi pemicu untuk semakin mengaktifkan sel-sel kanker.
Syukurlah, di hadapan Harry Subagyo (64) dan Endang Sri Hartati (58), bapak dan ibu Mas Miming yang memanggil kami secara khusus sebelum operasi dilakukan, tak berubah sikap. Bahkan calon suamiku yang sudah dua tahun menjalin asmara denganku pun justru mendukung operasi yang akan kujalani. Yang membuatku semakin lega, tak hanya Mas Miming, seluruh keluarganya pun memberikan support.
Gandhi Wasono M / bersambung
KOMENTAR