Jujur, putri keduaku ini anak yang sangat kuandalkan. Bagiku ia anak paling mandiri, pintar, dan bertanggungjawab. Ia selalu membantuku di rumah. Jika aku harus pergi ke luar kota mengurus usaha mebel keluarga, ia yang ambil alih mengurus keluarga. Ia juga dekat dengan kakak perempuan dan adik lelakinya. Anakku ini juga berprestasi. Ia mendapat beasiswa penuh saat masuk kuliah di Jurusan Akuntansi, Trisakti School of Management. Menginjak semester tiga, ia makin aktif di kegiatan kampus hingga sering pulang malam.
Meski pendiam dan anak rumahan, ia punya banyak teman. Nilai IP semesternya selalu memuaskan. Arum juga sempat mengenalkan pacarnya padaku setelah Lebaran tahun lalu. Meski baru empat bulan berpacaran, kurestui hubungan mereka.
Anehnya, menjelang akhir tahun 2011 lalu, Arum selalu gelisah dan kerap menangis. Ia selalu cerita, katanya terus merasa takut dan deg-degan. Tapi, tak jelas takut pada apa. Bukan urusan kuliah atau masalah pribadi, katanya. Ternyata ia juga bilang begitu pada teman-temannya. Aku nasehati agar ia tenang. Bahkan, beberapa kali kuajak ia ke dokter untuk periksa jantung, tapi, selalu ditolaknya. Katanya, debar di jantungnya seperti firasat, bukan penyakit.
Sebulan belakangan Arum juga terlihat sangat cantik. Kulitnya putih bersinar. Saat itu hanya kucandai saja perubahan yang tampak pada dirinya. Aku juga masih ingat, Desember lalu Arum bilang, saat diwisuda nanti, ia ingin duduk di deretan terdepan. Artinya, prestasinya adalah yang terbaik. Ketika dimakamkan, ia pun mendapat liang lahat di depan. Begitu jelas aku mengingat keinginannya saat itu.
Yang berbeda kini, tak ada lagi yang menemaniku pergi ke mana-mana. Dulu aku selalu dibonceng Arum tiap ingin pergi. Di balik sikapnya yang mandiri, ia memang manja padaku. Selalu ingin pergi bersama dan banyak hal yang ia ceritakan padaku.
Setelah jasadnya dimakamkan Jumat (13/1), aku dan keluarga menerima santunan dari Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta. Santunan sebesar Rp 10 juta itu diterima langsung oleh suamiku, Henry Farianto didampingi kakak Arum, Bunga Yulita.
Sungguh aku sangat berterimakasih atas perhatian dan bantuan tersebut, meski tak dapat mengganti nyawa anakku yang telah tiada. Mungkin semua ini telah menjadi takdir-Nya. Mama ikhlas, Nak. Semoga arwahmu selalu damai di sisi-Nya.
Damar Harya Perkasa (15), adik kandung Arum, tampak masih terpukul. Firasat tak enak memang sempat ia rasakan dua hari sebelum Arum mengalami kecelakaan. Damar mimpi Arum meninggal. "Setelah diberi bantuan oksigen sama aku dan Papa, Mbak Arum hidup lagi. Katanya, mimpi orang meninggal artinya panjang umur. Tapi dalam mimpiku itu, Mbak Arum hidup lagi," ujarnya.
Saat terbangun, Damar pun menangis. Rabu malam sebelum peristiwa naas itu terjadi, ia juga masih sempat bercanda dengan Arum. Bahkan, saat menceritakan mimpinya, Arum malah tertawa.
Bagi Damar, Arum adalah kakak yang baik dan enak diajak ngobrol. Sebagai kakak, meski sering berantem, ia tak pernah marah. "Malah selalu mengingatkan aku untuk salat." Saat ia mengeluh puasa tahun lalu telah usai, Arum justru menasehati agar Damar berdoa bisa bertemu lagi dengan bulan puasa berikutnya. "Tapi, sekarang Mbak Arum udah enggak ada, enggak bisa puasa bareng lagi," ujarnya pilu.
Rasa kehilangan jelas dirasakan remaja ini. Jika biasanya ia manja minta ditemani tidur, sering jalan-jalan dan belanja bersama, kini semua itu tinggal kenangan. "Aku kehilangan sekali... Mbak Arum itu segalanya."
Ade Ryani
KOMENTAR