Menjaga Kepercayaan
Saat guru Aurel kewalahan, aku membantunya. Supaya Aurel merasa nyaman, setiap hari aku duduk di sebelahnya. Aku sebetulnya tersiksa banget duduk di kursi kecil untuk anak TK seperti itu. Ditambah lagi, jam belajarnya cukup lama, pukul 10.00-14.30. Saat para siswa sibuk makan bekal saat jam istirahat, aku hanya bisa ngiler melihatnya sambil menahan lapar, ha ha ha... Aku sendiri tak bisa keluar kelas karena beranjak dari kursi sedikit saja bisa membuat Aurel berteriak.
Butuh waktu berbulan-bulan bagiku untuk meyakinkan Aurel bahwa sekolahnya adalah tempat yang aman dan menyenangkan baginya, dan ia akan baik-baik saja di sana. Lama-kelamaan aku mulai memundurkan kursiku menjauhi Aurel. Tentu saja setelah memberitahunya bahwa aku akan tetap ada setiap kali ia menoleh ke belakang. Setelah delapan bulan berada di dalam kelas, akhirnya aku bisa duduk di luar kelas, tepat di depan pintu persis seperti murid sedang disetrap.
Aku sendiri masih tak nyaman di luar kelas karena setiap guru dan kepala sekolah lewat di depanku, mereka selalu permisi kepadaku, ha ha ha... Awalnya, Aurel merasa keberatan. Namun karena ia mulai bisa menikmati waktu bersama teman-temannya, akhirnya aku bisa keluar kelas. Awalnya, ia sering keluar kelas untuk mengecek keberadaanku. Bila kuintip dari luar, terlihat ia sering menoleh ke arah pintu.
Aku sendiri berusaha agar ia tidak kehilangan kepercayaan terhadapku. Jika sampai ia tak percaya lagi, aku harus mengulang semua proses ini dari awal. Jadilah aku tetap berada di kursiku, meski kadang aku tergoda untuk pergi pada saat ia tidak keluar kelas. Lama kelamaan, saat istirahat pukul 12.00 aku boleh ke kantin. Lalu, aku berusaha membujuknya supaya mengizinkanku menunggu di kantin. Ia setuju, meski sejak itu bisa 10 kali ke toilet yang letaknya bersebelahan dengan kantin. Sambil menunggu, aku membaca alkitab dan renungan harian.
Setelah ia yakin aku tak pernah bohong, aku minta izin untuk menunggu ia di rumah saja dan sudah ada di sekolah lagi untuk menjemputnya sebelum ia keluar kelas. Untungnya, ia tak keberatan. Lega rasanya akhirnya bisa selonjoran kaki di rumah sambil mengasuh Andre. Namun setelah lama kuperhatikan, rasanya ada sesuatu yang aneh pada anak keduaku ini. Oh ya, seperti juga Aurel, Andre lahir lewat operasi Caesar. Ia lahir dalam kondisi sehat normal, tapi lahir saat baru delapan bulan di kandungan.
Saat hamil Andre, aku tak merasakan kecemasan dan morning sickness seperti saat hamil Aurel. Paling-paling yang kualami adalah preeklamsia dan badanku sering bengkak. Secara garis besar, saat hamil Andre aku tak ada masalah, meski tetap harus banyak minum vitamin dan menjalani terapi khusus.
Pernah suatu malam saat berumur 1,5 tahun, ia step sambil tengkurap. Dokter bilang tidak apa-apa, cukup dilihat perkembangannya saja. Rupanya makin lama Andre makin jarang melakukan kontak mata dengan orang lain. Setiap memanggilku, matanya mengarah ke tempat lain, bukan menatapku. Awalnya aku bingung. Makin lama, Andre tidak lagi memanggilku. Ia asyik dengan dirinya sendiri. Kuperhatikan, ia makin aneh. Jika main mainan yang bentuknya bulat, bisa ia pelintir sampai berjam-jam sambil mengeluarkan bunyi "eee..." dari mulutnya, seolah-olah ia menemukan keasyikan tersendiri.
Pernah pula, makanan ikan yang bentuknya bulat ia pelintir dengan cara yang sama. Aku terkejut, jangan-jangan ia autis. Aku mencari tahu dengan membaca buku-buku soal autis. Hasilnya, semua buku yang kubaca mengantarkanku pada satu benang merah yang mengatakan bahwa Andre benar menderita autis.
Aku baru tahu, ternyata anak autis menyukai benda yang bulat dan berputar. Sebab pada saat mereka menyusu pertama kali pada ibunya, bentuk mulut mereka jadi membulat. Yang mereka lihat pertama kali pun benda yang bulat, yaitu puting, dan semua itu mendatangkan orgasme pertama di oral mereka. Jadi dalam pikiran mereka, benda yang bulat itu pasti nikmat.
Hasuna Daylailatu / bersambung
KOMENTAR