Kalau pernah membaca artikel tentangku di NOVA sebelumnya, mungkin Anda tahu kegiatanku di komunitas Blood for Life. Kini, selain mengurus komunitas itu, aku juga aktif membantu anak-anak yang butuh uluran dana dari para donatur untuk biaya pengobatan atas sakit yang mereka derita. Kedua aktivitas itu kujalani bukan tanpa alasan. Bahkan, peristiwa demi peristiwa yang kulalui selama hidupku setelah aku punya anak yang membuatku akhirnya memilih jalur sosial tesebut.
Saat masih gadis dulu, aku terbilang manja, tidak sabaran dan gampang emosi. Singkatnya, sifatku kala itu sangat berbeda dari aku yang sekarang. Rupanya Tuhan ingin mencoba kekuatan imanku sekaligus memperbaiki sifat-sifatku. Tahun 1998, aku menikah dengan Coody Johasman M (39). Sejak awal kami sudah memimpikan punya tiga anak. Tak lama, aku hamil tapi keguguran. Dua kali aku mengalami hal ini.
Kehilangan janin seperti ini sangatlah menyakitkan. Aku merasa gagal menjadi seorang ibu dan bertanya-tanya apa salahku sampai mengalami hal ini. Saat diperiksa dokter, ternyata aku punya toksoplasma. Selain itu, penyebab gugurnya kandunganku juga lantaran penyakit yang kuderita, yaitu trombosit darahku mudah mengental. Akibatnya, suplai darah ke janin tidak lancar. Tak sampai setahun setelah menjalani terapi, aku hamil. Awal hamil, aku selalu muntah.
Morning sickness yang kualami sangat parah. Pada usia kehamilan lima bulan, dokter mengatakan kemungkinan janinku harus digugurkan karena mengerut. Aku menolak. Apa pun yang terjadi, dia harus lahir. Sebab, menurutku, semua janin yang Tuhan izinkan hadir dalam rahim seorang perempuan, apa pun jadinya nanti, dia berhak hidup. Jadi bila Tuhan yang memberi, biarkan Dia juga yang mengambil.
Dokterku yang tak lain adalah paman suamiku, mendukung keputusanku. Sejak itu, aku sering mengalami vlek. Pada kehamilan tujuh bulan, vlek yang kualami cukup besar ukurannya. Aku diberi obat dan disuntik tiap 24 jam sekali untuk mempertahankan janin dan menguatkan paru-paru calon bayi bila sewaktu-waktu ia harus lahir. Setiap kali aku disuntik, sakitnya bukan main.
Pada bulan kedelapan ketubanku pecah sewaktu aku masih di kantor. Bayi pertamaku, Aurelia Prinisha M, lahir pada 15 Januari 2000 dengan berat badan 2,4 kg dan panjang 48 cm. Kecil banget, seperti botol. Apesnya, aku terkena sindrom baby blues karena stres melihat Aurel tak henti menangis sepanjang hari pada awal kelahirannya. Ditambah lagi, perutku masih sakit setelah melahirkan. Situasi ini membuatku sangat depresi.
Melihat cucu dan anaknya terus menangis, ibuku yang suatu kali mendampingi di kamar jadi ikut menangis. Waktu pulang kantor, suamiku heran melihat kami bertiga menangis bareng. Setelah beberapa minggu, akhirnya aku bisa beradaptasi dengan peran baruku sebagai ibu. Sejak usia beberapa bulan setelah lahir, Aurel terlihat gampang ketakutan setiap bertemu orang lain. Ia hanya merasa nyaman denganku dan ayahnya. Tiap bertemu orang selain kami, ia akan menangis dan ketakutan.
Rupanya, ketakutanku selama mengandung Aurel menurun kepadanya. Ia jadi mengidap over anxiety atau cemas yang berlebihan. Ya, waktu itu aku memang sangat cemas, khawatir kehilangan lagi janin yang kukandung. Selain itu, aku juga cemas dengan peranku sebagai seorang ibu baru kelak. Setiap kami bepergian, suamiku harus menyetir sambil ngebut. Dengan cara ini, Aurel tak akan melihat orang banyak. Jika mobil terpaksa berhenti karena macet, ia akan ketakutan dan menangis tak henti.
Terpaksa aku membawanya ke dokter yang kemudian memberinya beberapa terapi untuk anak autis. Hanya saja, polanya berbeda. Antara lain behavior therapy, occupational therapy, dan sistem integrasi. Saat tiba waktunya masuk TK, Aurel tak mau ke sekolah karena takut luar biasa sampai kencing di celana. Stresku makin bertambah karena saat itu aku tengah hamil anak kedua, Andre Vivaldi Pratama M.
Setelah akhirnya Andre lahir pada 2 Januari 2003, aku mendampingi Aurel bersekolah. Soal Andre, kuceritakan nanti saja, ya. Yang jelas, sebelum akhirnya hamil Andre, aku sempat keguguran satu kali. Kepada gurunya kujelaskan kondisi Aurel dan aku minta kebijaksanaan guru untuk mengizinkan aku duduk di sebelah Aurel sampai ia bisa ditinggal. Sejak itulah, tiap Senin sampai Jumat selama empat jam aku jadi murid terbesar sekaligus tertua di kelas Aurel.
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
KOMENTAR