Salah satu pelopor kuliner Aceh adalah Rumah Makan (RM) Aceh Seulawah yang dikelola Ratna Dwikora (46). Beragam menu Tanah Rencong disajikan antara lain gulai ikan hiu, kepala ikan, keumamah (ikan kayu), paeh engkout bileh (pepes), sayur pliu, sambal ganja, mi Aceh dan masih banyak lagi.
"Ini masakan rumahan, menu sehari-hari orang Aceh. Awalnya memang banyak orang Aceh yang makan di sini. Mereka seperti pulang ke rumah, menyantap masakan ibunya. Belakangan ini, selain orang Aceh, banyak juga masyarakat non Aceh yang suka," kata Ratna yang membuka rumah makannya di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, persis di depan Rumah Sakit AL Mintohardjo.
Ratna mulai buka usaha ini sejak 15 tahun lalu. Kala itu, ia ingin memulai kuliner yang unik. Apalagi dalam pandangannya, kuliner yang lengkap menyajikan menu Aceh masih bisa dihitung dengan jari. "Saya membuat brosur dan pasang iklan sebulan penuh di koran untuk memperkenalkan usaha. Saya juga menghubungi kantor komunitas masyarakat Aceh."
Dalam waktu relatif singkat usaha Ratna dikenal orang. Ia pertama kali menerima pesanan katering untuk 300 tamu dari wakil jaksa agung. Acara itu juga dihadiri gubernur Sumatera Utara ketika itu, Raja Inal Siregar. Ketika mantan Panglima Aceh Tengku Johan punya hajat di salah satu hotel berbintang, Ratna juga diminta menyediakan salah satu hidangan.
Rumah makannya juga jadi salah satu favorit pejabat hingga pesohor. "Hampir semua pejabat Aceh, mulai bupati sampai Pak Gubernur, tiap kali tugas ke Jakarta sering mampir ke sini. Akhir-akhir ini, Butet Kartaredjasa termasuk rajin ke Seulawah," kata wanitas asal Sigli ini.
Untuk membuat masakan Aceh yang kaya bumbu Ratna bahkan rela mendatangkan bumbu langsung dari Aceh, mulai dari jintan, kapulaga, lada, jahe, merica, sampai cengkih. "Bumbu khas masakan Aceh adalah asam sunti, ini belimbing sayur yang dikeringkan."
Salah satu menu favorit Seulawah adalah ikan kayu yang semangkuk kecil harganya Rp 7 ribu. Ini ikan tongkol yang diperlakukan secara istimewa. Setelah direbus, ikan dijemur sampai benar-benar kering. Untuk panas normal, butuh waktu sekitar empat hari sampai ikan mengeras seperti kayu. "Bisa tahan sampai setahun, lho. Nah, sebelum dimasak, ikan direndam dulu semalaman. Setelah empuk, diserut kecil-kecil dan dimasak tumis kering." Menu favorit lainnya sayur pliu yang dipatok harga Rp 10 ribu. Ada lagi sambal ganja yang harganya Rp 8 ribu. Bukan ganja beneran, tapi sambal ganja yang dibuat dari udang rebus plus bumbu-bumbu segar. "Rasanya pedas segar. Setelah makan, membuat orang terkantuk-kantuk. Makanya dibilang seperti ganja. Yang juga khas adalah ikan hiu, seporsi Rp 20 ribu."
Usia Kaifah sudah senja. Tahun ini, istri Dedi, pensiuanan pegawai Pemda DKI ini sudah memasuki 63 tahun. Tetapi wanita dengan perawakan kecil ini masih kelihatan cekatan. Sehari-hari ia masih belanja, meracik, dan melayani pelanggan empal gentong yang singgah di warungnya di bilangan Bumi Serpong Damai, Tangsel.
Kaifah adalah menantu Mang Darma, sebuah merek dagang empal gentong yang legenderis di Cirebon. Ia satu-satunya pewaris merek dagang ini yang jualan di luar Cirebon. "Saudara-saudara kami semua juga membuka restoran empal gentong. Tapi semua ada di Cirebon," jelas Kaifah.
Sudah belasan tahun Kaifah berjualan empal gentong. Bahkan saat ini ia sudah punya dua restoran. "Satu lagi di Bintaro. Tapi sekarang dikelola anak sulung saya," tandas Kaifah yang mengaku tiap hari paling tidak bisa menjual hingga 20 porsi empal gentong.
KOMENTAR