Perilaku AI yang dikabarkan menyaksikan semua yang terjadi dalam angkot, membuat orang jadi bertanya-tanya. Dalam pandangan Reynitta Poerwito, M.Psi, tak sedikit terjadi seseorang menjadi saksi tindakan kriminal kemungkinan besar akan bersikap diam (freeze). "Itu bisa disebabkan banyak faktor. Antara lain, perasaan takut yang sangat besar atas situasi yang dianggap mengancam jiwanya atau dia menanti orang lain bertindak, mencari pertolongan, atau malah menolong korban," papar psikolog yang kerap disapa Irene.
Pada kasus yang menimpa RS, perlu ditelusuri kembali apakah AI benar-benar diam saja, bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa, atau benar sedang di bawah pengaruh obat-obatan tertentu atau alkohol. "Nah, itu akan menentukan sikap dan perilakunya. Kalau memang mendukung si pelaku, kemungkinan besar dia menikmati situasi tersebut."
Namun, lanjut Irene, "Jika dia benar-benar diam saja dan memalingkan wajahnya seolah menghindar agar tak melihat kejadian apa pun, kemungkinan besar dia merasa takut dan tak bisa berbuat apa-apa. Dia meyakini, apa pun yang akan dilakukannya tak akan bisa menghentikan si pelaku dari tindakan kejahatan."
Selanjutnya, kata Irene, terbiasa atau tidaknya AI melihat perilaku keji sang pacar, tergantung dari hubungan mereka. "Kan, katanya baru berpacaran selama dua bulan. Tapi, itu bukan alasan tepat untuk diam saja ketika mengetahui pacarnya memperkosa. Kemungkinan paling besar, perasaan takut karena pelaku bawa senjata tajam. Bisa juga pasrah karena tak bisa memperbaiki keadaan."
Ia juga menilai, ada beberapa alasan mengapa AI mau ikut tersangka pelaku melarikan diri ke Bandung. "Pertama, dia merasa harus mendampingi pacarnya untuk membuktikan dia pacar yang setia dan bisa diandalkan." Kedua, lanjutnya, AI merasa dilema atau takut dengan posisinya yang telah menjadi saksi kejahatan. "Daripada menghadapi perasaan kalut sendirian dan terlalu takut melaporkan kejadian, dia ikuti pacarnya kabur."
RS (35), korban perkosaan di angkot Rabu (14/12) lalu, sudah kembali ke rumahnya di bilangan Sukmajaya, Depok, Jawa Barat. Namun ibu dua anak ini masih mengurung diri di kamar. "Keluarga bergiliran menemani Rs. Kami belum berani meninggalkan dia sendiri. Dia masih suka bengong. Masih trauma keluar rumah," cerita Joih (51), paman RS yang ditunjuk mewakili keluarga, sekaligus juru bicara keluarga.
Selain masih trauma akibat perkosaan di Rabu kelabu lalu, RS juga harus menjalani operasi di kemaluannya akibat darah masih terus mengucur. "Tindakan operasi itu memang saran dokter. Keluarga hanya bisa pasrah dan menyetujui meski sebenarnya saat itu kami belum pegang uang," tandas Joy, sapaan Joih.
Setelah menjalani operasi, RS harus menginap selama sepekan di RS Polri Kramat Jati. Selama itu, praktis RS tak bisa lagi memberi ASI untuk anak bungsunya yang masih berumur satu tahun. Oleh kakek-neneknya, Sa (1), hanya diberi air putih karena tak doyan susu formula. "Anehnya, setelah seminggu tak minum ASI, Sa jadi enggak mau lagi menyusu."
Lalu bagaimana kondisi psikis RS yang sehari-hari berdagang sayur itu sepulangnya ke rumah? "Yang pasti dia senang bisa bertemu suaminya (Herry) dan dua anaknya. Tapi kami belum tahu sejauh mana trauma yang dialami RS."
Selama di rumah, RS pun banyak dijenguk berbagai pihak. "Yang sudah membesuk, Menteri Linda Agum Gumelar, Kapolri, Walikota Depok, sampai rombongan ibu-ibu majelis taklim." Kunjungan mereka, lanjut Joy, membuat RS merasa tidak sendiri.
KOMENTAR