Entah berapa babak kehidupan lagi yang harus kulalui untuk bisa berkumpul kembali dengan anak bungsuku, Jason Soetanto Putra (11). Perjuanganku sebagai ibu kandung untuk merawat dan mendidik Jason sungguh berliku. Bahkan ceritanya mungkin lebih dramatis dibanding sinetron-sinetron yang sekarang diputar di televisi.
Bagaimana tidak dramatis? Tak ada hujan, tak ada angin, aku harus berpisah dari Jason. Dia diambil paksa oleh mantan suamiku, Peter Soetanto, dengan bantuan orang-orang bertubuh besar dan wajah jauh dari ramah. Jangankan aku, satpam yang juga menyaksikan pada saat kejadian saja, tak berani berbuat apa-apa.
Bagaimana perasaanku setelah peristiwa itu? Hancur! Sudah dipisah, aku pun tak tahu harus mencari Jason ke mana karena setelah direnggut dari pelukanku, Jason dan Peter menghilang tak tentu rimbanya.
Lalu, ketika akhirnya aku berhasil menemukan Jason dan ingin merawatnya kembali, Peter justru melaporkanku menculik anak sendiri. Aku, kan, ibu kandung Jason! Aku yang mengandung, melahirkan, dan merawatnya sejak kecil. Kenapa aku malah dilaporkan ke polisi? Seakan tak cukup, aku juga harus merasakan dinginnya tembok penjara. Di mana logikanya?
Hal Tak Pantas
Orang yang tak mengerti kasusku sejak awal mungkin beranggapan, aku lah yang salah karena bersikukuh merebut Jason yang hak asuhnya jatuh ke tangan Peter. Memang benar, setelah perceraian kami, secara hukum Jason ikut Peter. Sementara Davin, anak sulung kami, ikut denganku.
Tapi tunggu dulu. Mengapa putusan pengadilan bisa begitu? Apa latar belakang di balik itu? Sesungguhnya aku bahkan tak tahu kapan Peter mengajukan gugatan cerai dan hak pengasuhan anak. Bahkan sampai perkara itu putus di tahun 2005, aku tak tahu ada sidang berlangsung. Makanya aku kaget setengah mati ketika Peter dan orang-orang suruhannya mengambil Jason secara paksa tiga bulan setelah putusan sidang cerai kami.
Saat mengajukan gugatan cerai, Peter memberitahu pengadilan bahwa alamatku di Kelapa Gading. Makanya pengadilan melayangkan surat panggilan ke sana. Padahal, aku sudah lama pindah dari rumah itu. Peter juga tahu aku dan anak-anak kini tinggal di rumah orangtuaku.
Akibatnya, karena tak tahu, tak sekali pun aku datang ke pangadilan. Sidang kemudian dilanjutkan tanpaku. Karena aku tak ada, dalam bayanganku tentu Peter leluasa meminta ke hakim akan mengasuh siapa. Coba saja tanya ke Davin, kenapa ayahnya tak minta hak asuh atas dia? Ada perbuatan Peter yang kurang terpuji dan diketahui Davin dan itu membuatnya malu.
Begitulah. Aku akhirnya mengetahui sudah dicerai Peter saat orang-orangnya mengambil Jason. Kalaupun memang benar hak asuh Jason ada pada Peter, apa benar itu caranya eksekusi? Mengapa harus ada paksaan dan kekerasan?
Segera aku pergi ke PN Jakarta Utara yang menyidangkan perceraian kami untuk mengecek putusan persidangan. Saat tahu bahwa semua itu benar, aku langsung mengajukan gugatan pembatalan putusan hak asuh di PN Jakarta Barat. Sayang, ketika sampai ke Mahkamah Agung, aku kalah.
Sejak Jason menghilang, tak ada satu hari pun terlewat tanpa aku memikirkan di mana dia dan bagaimana kondisinya. Tak kenal lelah aku mencari informasi keberadaan Jason. Rasanya semua orang yang berhubungan dengan kami sudah kutanyai soal Jason.
Hingga akhirnya dari keluarga Peter kuketahui, Jason sekolah di Qiaonan Primary School di Singapura dan dititpkan ke seseorang. Bayangkan, anakku dititipkan ke seorang pengasuh di negeri orang. Hati ibu mana yang tak nelangsa memikirkan anaknya diasuh orang lain? Jason, kan, masih punya ibu kandung yang bersedia sepenuh hati merawatnya!
Selama tiga bulan aku bolak-balik ke Singapura, berusaha sekadar menjenguk Jason. Di sekolahnya, aksesku untuk bertemu Jason ditutup. Sering aku hanya bisa menunggu dan melihatnya bermain dari luar gerbang sekolah. Aku sempat diizinkan melihat data dan prestasi Jason di sekolah. Duh, sedih hatiku. Prestasi Jason sungguh buruk. Bahkan pernah tidak naik kelas.
Naluriku sebagai seorang ibu lantas muncul. Rasanya ingin segera mengambil alih pengasuhan Peter. Tapi apa daya, jangankan membawa pergi, menemui saja aku tak diperbolehkan oleh pihak sekolah. Katanya, takut aku berbuat jahat ke Jason. Konyol sekali. Ibu mana, sih, yang ingin berbuat jahat pada anaknya sendiri?
Beberapa saat kemudian aku dengar kabar Jason dipindahkan sekolahnya ke Bandung. Nah, hari itu sebenarnya aku hanya ingin melihat kondisinya saja. Tapi begitu Jason melihat Davin dan adikku, dia langsung menghampiri. Dia juga bilang ingin ikut aku. Hati siapa yang tak luluh? Setelah mempertimbangkan, kuputuskan membawa Jason ke Jakarta. Tak lupa kuberitahu Peter bahwa Jason dalam kondisi baik-baik dan aku akan merawatnya. Tak kusangka aku malah dijebloskannya ke penjara.
Sukrisna / bersambung
KOMENTAR