Sudah lama kawasan Troso, Jepara (Jateng) menjadi wilayah sentral tenun. Tradisi tenun sudah berlangsung turun-temurun. Konon, sejak hadirnya ulama besar Mbah Datuk Gurnadi Singorojo di daerah ini. Begitu berpengaruhnya Mbah Datuk, hingga makamnya pun dikeramatkan. Namun, baru sekitar tahun 60-an, tenun mulai diperjualbelikan. Salah satu perintisnya adalah pasangan suami-istri Satibi dan Siti Zaitun.
"Kala itu, hanya beberapa yang jual kain tenun. Saya sendiri yang membuatnya. Secara alamiah saya sudah belajar menenun sejak remaja. Awalnya, kain tenun hanya dipakai sendiri. Nah, tahun 60-an, saya dan suami mulai menjadikannya usaha, meski belum jadi yang utama. Bentuknya pun masih sarung dengan motif sederhana, polos dan garis," ujar Siti Zaitun (70) didampingi anaknya, Mulyanto (37).
Tenaga pemasaran masih dilakukan oleh Satibi, dengan menjajakannya secara keliling dari pasar ke pasar. Paling jauh sampai Pasar Kliwon, Kudus. Itu pun masih seminggu sekali. "Bapak, kan, karyawan Dinas Kesehatan. Bapak baru memasarkan sarung di saat libur. Kapasitas produksi baru 1-2 kodi. Saya sendiri buka warung kelontong di rumah," kisah Siti.
Lama-kelamaan wilayah pemasarannya sampai Solo. Sarung itu kemudian dibawa pedagang sampai Surabaya dan masuk Bali. Pemasaran sempat tersendat ketika terjadi geger PKI. Situasi negeri yang tidak aman membuat Sapidi tak leluasa memperkenalkan produknya. "Jualnya pun mesti sembunyi-sembunyi," lanjut Siti seraya mengatakan pembuatan tenun terus berkembang mulai dari alat tenun gedok sampai ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin).
Kian lama, produk tenun makin berkembang. Coraknya tak hanya polos. "Corak asli Troso adalah lompong. Penemunya Pak Sudar, beliau juga termasuk perintis tenun Troso. Tak hanya corak, produknya juga berkembang. Selain sarung, saya juga memproduksi bed cover. Itu karena permintaan pasar. Motifnya makin beragam, antara lain hewan. Bali menjadi pasar yang potensial karena di sana tenun dipakai untuk upacara adat. Permintaan makin banyak," papar Siti.
Menurut Siti, begitu berkembangnya pasar di Bali, banyak yang menduga tenun produksi Troso adalah tenun Bali. "Banyak masyarakat mengira seperti itu. Makanya, di banyak kesempatan, Pemda Jepara menyuarakan tenun Troso. Tenun memang makin berkembang," kata Siti yang sejak tahun 80-an memegang kendali usaha. "Saat itu, Bapak menjabat sekretaris desa."
Berkat upayanya mengembangkan tenun, lanjut Siti, "Suami saya pernah mendapat penghargaan Upakarti dari mendiang Presiden Soeharto pada tahun 1991. Saat itu, kami bermitra dengan 30-an perajin dengan nama usaha Lestari Indah," papar Siti yang juga aktif sebagai anggota IWAPI.
Sang putra, Mulyanto, juga menambahkan, setelah ayahnya meninggal tahun 2000, sang ibu benar-benar tampil menjadi nakhoda. Berkat tangan dingin sang ibu, usahanya kian menggeliat. "Ibu, kan, sudah biasa jualan kelontong. Makanya ibu lebih luwes menghadapi pelanggan," katanya.
Menyambung ungkapan Mulyanto, Siti mengatakan, selanjutnya ia punya ide untuk memajang tenun ikat di toko kelontong. Lama kelamaan toko kelontongnya berubah jadi toko tenun ikat. "Tenun sudah menjadi penghasilan pokok. Kala itu, di Troso hanya ada beberapa showroom. Kalau enggak salah hanya ada lima," kata Siti.
Kapasitas produksi Lestari Indah juga makin banyak. Semula, tenaga kerja hanya dilakukan keluarga. "Selanjutnya, saya butuh beberapa penenun. Sekarang, sudah ada 70-an tenaga kerja. Setelah saya buka toko, makin banyak orang yang datang ke mari. Pemasaran tidak perlu lagi dilakukan secara berkeliling."
KOMENTAR