Cintaku pada Firmanto Mukti atau Firman memang sangat besar. Di mataku, ia adalah pria dewasa yang mampu membimbingku dan aku merasa aman di dekatnya. Aku yang ketika itu berusia 17 tahun, tak sanggup menolak lamaran pria yang usianya dua kali lipat dariku itu. Kami pun menikah tahun 2005. Sempat, memang, aku merasa ragu karena usiaku terpaut begitu jauh. Namun, ibuku berhasil meyakinkan aku, Firman pasti bisa mengarahkanku.
Usai menikah, aku diboyong dari Ujung Pandang ke Jakarta. Di kota metropolitan ini kami sempat membina hidup rumah tangga yang bahagia. Kebahagiaan kami semakin bertambah dengan hadirnya Jasmine Fitri Mukti, 5 September 2006 silam. Kami panggil malaikat kecil kami Jessy.
Tapi entah mengapa, setelah Jessy hadir, perilaku Firman justru berubah. Aku tak mengerti alasannya. Yang jelas, ia tak lagi peduli kepadaku ataupun Jessy. Firman lebih banyak menghabiskan waktu untuk dirinya sendiri. Perubahan lain, ia jadi temperamental dan ringan tangan. Aku sebenarnya sudah tahu sifat kasarnya ini sejak dulu. Tapi dulu, kalau sedang marah, paling ia merusak barang. Tak pernah sekali pun memukulku.
Dipukuli Tanpa Henti
Perubahan itu diperparah dengan kesibukanku di dunia hiburan selama tiga tahun belakangan. Syuting menuntutku bangun pagi, sementara Firman yang harus mengurus usaha kelab malam, baru pulang dini hari. Belum lagi masalah lain yang enggan kuungkapkan, yang membuat hubungan kami benar-benar memburuk.
Puncaknya terjadi awal Oktober lalu. Ketika itulah Minggu (2/10) perlakuan Firman mencapai titik puncaknya. Yang jelas, setelah kejadian malam itu, aku bahkan bersyukur masih diberi hidup oleh Tuhan. Kejadiannya berawal ketika aku dan Firman berada di mobil dalam perjalanan pulang ke apartemen kami di bilangan Casablanca, Jakarta Selatan, dari kelab malam milik Firman di City Walk, tak jauh dari apartemen.
Saat itu Firman memang mengaku sedikit mabuk tapi bersikeras bilang masih kuat menyetir mobil. Di perjalanan, aku tertawa-tawa mendengar cara bicaranya yang kurasa lucu sekali. Iseng, aku mengeluarkan ponsel untuk merekam suaranya. Maksudnya agar ia dengar suaranya yang lucu itu besok.
Nah, ketika aku hendak mengeluarkan ponsel, tiba-tiba ia marah. Seolah tak cukup dengan hardikannya, ia memukul wajahku dengan tangan kirinya. Perjalanan menuju apartemen yang harusnya sangat dekat itu mendadak terasa begitu jauh. Sambil terus memukuliku, Firman mengambil jalan memutar. Entah mengapa. Mungkin agar semakin lama tiba di apartemen.
Sungguh aku merasa saat itu nyawaku sudah di ujung tanduk. Aku tak bisa melakukan apa-apa selain menangis dan memohon agar Firman menghentikan pukulannya. Karena ia tak juga berhenti memukul, aku beranjak, bermaksud pindah duduk ke kursi belakang. Ketika aku berdiri itulah, Firman menginjak pedal rem kuat-kuat. Aku terjerembab ke depan. Wajahku membentur kaca dan dashboard mobil dengan keras. Aku sampai tak tahu lagi bagian mana yang terbentur. Seluruh kepala ini rasanya sakit sekali.
Yang paling menakutkan, aku tak tahu ke mana Firman membawaku. Dalam pikiranku hanya satu, Jessy. Selain itu, perasaanku berkata, aku akan mati. Ya Tuhan, tak ada yang bisa menolongku.
KOMENTAR